BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kondisi
bangsa Arab sebelum kedatangan Islam, terutama di sekitar Mekah masih
diwarnai dengan penyembahan berhala sebagai Tuhan, yang dikenal dengan
istilah paganisme. Selain menyembah berhala, di kalangan bangsa Arab
ada pula yang menyembah agama Masehi (Nasrani), agama ini dipeluk oleh
penduduk Yaman, Najran, dan Syam. Di samping itu agama Yahudi yang dipeluk
oleh penduduk Yahudi imigran di Yaman dan Madinah, serta agama Majusi
(Mazdaisme), yaitu agama orang-orang Persia.
Demikianlah
keadaan bangsa Arab menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW. yang membawa Islam
di tengah-tengah bangsa Arab. Masa itu biasa disebut dengan zaman Jahiliah,
masa kegelapan dan kebodohan dalam hal agama, bukan dalam hal lain seperti
ekonomi dan sastra karena dalam dua hal yang terakhir ini bangsa Arab
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di lingkungan inilah Nabi Muhammad
SAW. dilahirkan, disinilah beliau memulai untuk menegakkan tonggak ajaran
agama Islam, di tengah-tengah lingkungan yang sudah bobrok dan penuh
kemaksiatan. Meskipun diwarnai dengan berbagai rintangan yang terus mendera.
Namun, beliau tetap teguh dalam menyebarkan agama baru, yakni agama Islam
kepada masyarakat Arab ketika itu.
Fase
kenabian Nabi Muhammad SAW. dimulai ketika beliau bertahanus atau menyepi di
gua hira, sebagai imbas dari keprihatinan beliau melihat keadaan bangsa Arab
yang menyembah berhala. Di tempat inilah beliau menerima wahyu yang pertama
kali, yaitu Al-‘Alaq ayat 1-5, maka Nabi Muhammad SAW. telah di angkat
menjadi Nabi, utusan Allah. Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW. belum
diperintahkan untuk menyeru kepada umatnya, namun setelah turun wahyu yang
kedua, yaitu surah Al-Muddatstsir ayat 1-7, Nabi Muhammad SAW. di angkat
menjadi Rasul yang harus berdakwah.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian dari hijrah serta apa yang menjadi
tujuan Rasulullah SAW beserta umat Islam berhijrah?
2. Bagaimana dakwah Rasulullah SAW pada periode
Madinah?
3. Bagaimana strategi dakwah yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW pada periode Madinah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hijrah dan Tujuan Rasulullah SAW Beserta Umat Islam Berhijrah
Setidaknya
ada dua macam arti hijrah yang harus diketahui oleh umat Islam. Pertama
hijrah berarti meninggalkan semua perbuatan yang dilarang dan dimurkai Allah
SWT. untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, yang diperintahkan Allah
SWT dan diridhai-Nya. Arti kedua hijrah ialah berpindah dari suatu negeri
kafir (non-Islam), karena di negeri itu umat Islam selalu mendapat tekanan,
ancaman, dan kekerasan, sehingga tidak memiliki kebebasan dalam berdakwah dan
beribadah. Kemudian umat Islam di negeri kafir itu berpindah ke negeri Islam
agar memperoleh keamanan dan kebebasan dalam berdakwah dan beribadah.
Arti
kedua dari hijrah ini pernah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dan umat Islam,
yakni berhijrah dari Mekah ke Yastrib pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun
pertama hijrah, bertepatan dengan tanggal 28 Juni 622 M.
Tujuan
hijrahnya Rasulullah SAW dan umat Islam dari Mekah ke Yastrib adalah:
Rencana
hijrah Rasulullah diawali karena adanya perjanjian antara Nabi Muhammad SAW.
dengan orang-orang Yatsrib yaitu suku Aus dan Khazraj saat di Mekkah yang
terdengar sampai ke kaum Quraisy hingga Kaum Quraisy pun merencanakan untuk membunuh
Nabi Muhammad SAW.
Pembunuhan
itu direncanakan melibatkan semua suku. Setiap suku diwakili oleh seorang
pemudanya yang terkuat. Rencana pembunuhan itu terdengar oleh Nabi SAW.,
sehingga Ia merencanakan hijrah bersama sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar
diminta mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam perjalanan, termasuk 2
ekor unta. Sementara Ali bin Abi Thalib diminta untuk menggantikan Nabi SAW.
menempati tempat tidurnya agar kaum Quraisy mengira bahwa Nabi SAW masih
tidur.
Pada
malam hari yang direncanakan, di tengah malam buta Nabi SAW. keluar dari
rumahnya tanpa diketahui oleh para pengepung dari kalangan kaum Quraisy. Nabi
SAW. menemui Abu Bakar yang telah siap menunggu. Mereka berdua keluar dari
Mekah menuju sebuah Gua Tsur, kira-kira 3 mil sebelah selatan Kota Mekah.
Mereka bersembunyi di gua itu selama 3 hari 3 malam menunggu keadaan aman.
Pada
malam ke-4, setelah usaha orang Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi SAW
sudah sampai di Yatsrib, keluarlah Nabi SAW dan Abu Bakar dari persembunyiannya.
Pada waktu itu Abdullah bin Uraiqit yang diperintahkan oleh Abu Bakar pun
tiba dengan membawa 2 ekor unta yang memang telah dipersiapkan sebelumnya.
Berangkatlah Nabi SAW. bersama Abu Bakar menuju Yatsrib menyusuri pantai Laut
Merah, suatu jalan yang tidak pernah ditempuh orang.
Setelah
7 hari perjalanan, Nabi SAW dan Abu Bakar tiba di Quba, sebuah desa yang
jaraknya 5 km dari Yatsrib. Di desa ini mereka beristirahat selama beberapa
hari. Mereka menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi
SAW membangun sebuah masjid yang kemudian terkenal sebagai Masjid Quba.
Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi SAW sebagai pusat peribadatan. Tak
lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi SAW. Sementara itu penduduk
Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Menurut perhitungan mereka,
berdasarkan perhitungan yang lazim ditempuh orang, seharusnya Nabi SAW sudah
tiba di Yatsrib. Oleh sebab itu mereka pergi ke tempat-tempat yang tinggi,
memandang ke arah Quba, menantikan dan menyongsong kedatangan Nabi SAW dan
rombongan.
Akhirnya
waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dengan perasaan bahagia, mereka
mengelu-elukan kedatangan Nabi SAW. Mereka berbaris di sepanjang jalan dan
menyanyikan lagu Thala’ al-Badru, yang isinya: “Telah tiba bulan purnama,
dari Saniyyah al-Wadâ’i (celah-celah bukit). Kami wajib bersyukur, selama ada
orang yang menyeru kepada Ilahi, Wahai orang yang diutus kepada kami, engkau
telah membawa sesuatu yang harus kami taati. Setiap orang ingin agar Nabi
SAW. singgah dan menginap di rumahnya.”
Tetapi
Nabi SAW hanya berkata,
“Aku
akan menginap dimana untaku berhenti. Biarkanlah dia berjalan sekehendak
hatinya.”
Ternyata
unta itu berhenti di tanah milik dua anak yatim, yaitu Sahal dan Suhail, di
depan rumah milik Abu Ayyub al-Anshari. Dengan demikian Nabi SAW memilih
rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap sementara. Tujuh bulan lamanya Nabi
SAW tinggal di rumah Abu Ayyub, sementara kaum Muslimin bergotong-royong
membangun rumah untuknya.
Sejak
saat itu nama kota Yatsrib diubah menjadi Madinatun Nabi (kota nabi).
Orang sering pula menyebutnya Madinatul al-Munawwarah (kota yang
bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia.
B. Dakwah
Rasulullah SAW. Periode Madinah
Setelah
tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin
penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan
periode Makkah, pada periode Madinah, Islam, merupakan kekuatan politik.
Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di
Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama,
tetapi juga sebagai kepala Negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi
terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi.
Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan kepala Negara.
Dakwah
Rasulullah SAW periode Madinah berlangsung selama sepuluh tahun, yakni dari
semenjak tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijriah sampai dengan wafatnya
Rasulullah SAW, tanggal 12 Rabiul Awal tahun ke-11 hijriah.
Materi
dakwah yang disampaikan Rasulullah SAW pada periode Madinah, selain ajaran
Islam yang terkandung dalam 89 surat Makiyah dan Hadis periode Mekah, juga
ajaran Islam yang terkandung dalam 25 surat Madaniyah dan hadis periode
Madinah. Adapun ajaran Islam periode Madinah, umumnya ajaran Islam tentang
masalah sosial kemasyarakatan.
Mengenai
objek dakwah Rasulullah SAW pada periode Madinah adalah orang-orang yang
sudah masuk Islam dari kalangan kaum Muhajirin dan Anshar. Juga orang-orang
yang belum masuk Islam seperti kaum Yahudi penduduk Madinah, para penduduk di
luar kota Madinah yang termasuk bangsa Arab dan tidak termasuk bangsa Arab.
Rasulullah
SAW diutus oleh Allah SWT bukan hanya untuk bangsa Arab, tetapi untuk seluruh
umat manusia di dunia, Allah SWT berfirman:
Yang
Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa’, 21:107)
Dakwah
Rasulullah SAW yang ditujukan kepada orang-orang yang sudah masuk Islam (umat
Islam) bertujuan agar mereka mengetahui seluruh ajaran Islam baik yang
diturunkan di Mekah ataupun yang diturunkan di Madinah, kemudian
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka betul-betul
menjadi umat yang bertakwa. Selain itu, Rasulullah SAW dibantu oleh para sahabatnya
melakukan usaha-usaha nyata agar terwujud persaudaraan sesama umat Islam dan
terbentuk masyarakat madani di Madinah.
Mengenai
dakwah yang ditujukan kepada orang-orang yang belum masuk Islam bertujuan
agar mereka bersedia menerima Islam sebagai agamanya, mempelajari
ajaran-ajarannya dan mengamalkannya, sehingga mereka menjadi umat Islam yang
senantiasa beriman dan beramal saleh, yang berbahagia di dunia serta
sejahtera di akhirat.
Tujuan
dakwah Rasulullah SAW yang luhur dan cara penyampaiannya yang terpuji,
menyebabkan umat manusia yang belum masuk Islam banyak yang masuk Islam
dengan kemauan dan kesadaran sendiri. Namun tidak sedikit pula orang-orang
kafir yang tidak bersedia masuk Islam, bahkan mereka berusaha
menghalang-halangi orang lain masuk Islam dan juga berusaha melenyapkan agama
Islam dan umatnya dari muka bumi. Mereka itu seperti kaum kafir Quraisy
penduduk Mekah, kaum Yahudi Madinah, dan sekutu-sekutu mereka.
Setelah
ada izin dari Allah SWT untuk berperang, sebagaimana firman-Nya dalam surah
Al-Hajj ayat 39 dan Al-Baqarah ayat 190, maka kemudian Rasulullah SAW dan
para sahabatnya menyusun kekuatan untuk menghadapi peperangan dengan orang
kafir yang tidak dapat dihindarkan lagi.
Artinya:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu” (Q.S. Al-Hajj, 22:39).
Artinya:“Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah, 2:190
Peperangan-peperangan
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para pengikutnya itu tidaklah
bertujuan untuk melakukan penjajahan atau meraih harta rampasan perang,
tetapi bertujuan untuk:
Setelah
Rasulullah SAW dan para pengikutnya mampu membangun suatu negara yang merdeka
dan berdaulat, yang berpusat di Madinah, mereka berusaha menyiarkan dan
memasyhurkan agama Islam, bukan saja terhadap para penduduk Jazirah Arabia,
tetapi juga keluar Jazirah Arabia, maka bangsa Romawi dan Persia menjadi
cemas dan khawatir kekuaan mereka akan tersaingi. Oleh karena itu, bangsa
Romawi dan bangsa Persia bertekad untuk menumpas dan menghancurkan umat Islam
dan agamanya. Untuk menghadapi tekad bangsa Romawi dan Persia tersebut,
Rasulullah SAW dan para pengikutnya tidak tinggal diam sehingga terjadi
peperangan antara umat Islam dan bangsa Romawi, yaitu diantaranya perang
Mut’ah, perang Tabuk, perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq, perjanjian
Hudaibiyah, perang Hunain.
C. Strategi
Dakwah Nabi Muhammad SAW. Periode Madinah
Pokok-pokok
pikiran yang dijadikan strategi dakwah Rasulullah SAW periode Madinah adalah:
Artinya: “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16:
125)
Ø Berdakwah
itu hukumnya wajib bagi Rasulullah SAW dan umatnya sesuai dengan petunjuk
Allah SWT dalam Surah Ali Imran, 3: 104.
Artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 104)
Ø Berdakwah
dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah SWT semata, bukan dengan untuk
memperoleh popularitas dan keuntungan yang bersifat materi.
Umat
Islam dalam melaksanakan tugas dakwahnya, selain harus menerapkan pokok-pokok
pikiran yang dijadikan sebagai strategi dakwah Rasulullah SAW, juga hendaknya
meneladani strategi Rasulullah SAW dalam membentuk masyarakat Islam atau
masyarakat madani di Madinah. Masyarakat Islam atau masyarakat madani adalah
masyarakat yang menerapkan ajaran Islam pada seluruh aspek kehidupan,
sehingga terwujud kehidupan bermasyarakat yang baldatun tayyibatun wa
rabbun ghafur, yakni masyarakat yang baik, aman, tenteram, damai, adil,
dan makmur di bawah naungan ridha Allah SWT dan ampunan-Nya.
a. Membangun Masji
Masjid
yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah ialah Masjid Quba,
yang berjarak ± 5 km, sebelah barat daya Madinah. Masjid Quba dibangun pada
tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijrah (20 September 622 M).
Setelah
Rasulullah SAW menetap di Madinah, pada setiap hari Sabtu, beliau mengunjungi
Masjid Quba untuk salat berjamaah dan menyampaikan dakwah Islam.
Masjid
kedua yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah Masjid
Nabawi di Madinah. Masjid ini dibangun secara gotong-royong oleh kaum
Muhajirin dan Ansar, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW dan peletakan batu kedua, ketiga, keempat dan kelima
dilaksanakan oleh para sahabat terkemuka yakni: Abu Bakar r.a., Umar bin
Khatab r.a., Utsman bin Affan r.a. dan Ali bin Abu Thalib r.a.
a. Masjid sebagai sarana pembinaan umat Islam di
bidang akidah, ibadah, dan akhlak.
b. Masjid merupakan sarana ibadah, khususnya shalat
lima waktu, shalat Jumat, shalat Tarawih, shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
c. Masjid merupakan tempat belajar dan mengajar
tentang agama Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadis.
d. Masjid sebagai tempat pertemuan untuk menjalin
hubungan persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiah) demi terwujudnya
persatuan.
e. Menjadikan masjid sebagai sarana kegiatan sosial.
Misalnya sebagai tempat penampungan zakat, infak, dan sedekah dan
menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya, terutama para fakir miskin dan
anak-anak yatim terlantar.
f. Menjadikan halaman masjid dengan memasang tenda,
sebagai tempat pengobatan para penderita sakit, terutama para pejuang Islam
yang menderita luka akibat perang melawan orang-orang kafir.
Muhajirin
adalah para sahabat Rasulullah SAW penduduk Mekah yang berhijrah ke Madinah.
Ansar adalah para sahabat Rasulullah SAW penduduk asli Madinah yang
memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin
Rasulullah
SAW bermusyawarah dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khatab tentang
mempersaudarakan antara Muhajirin dan Ansar, sehingga terwujud persatuan yang
tangguh. Hasil musyawarah memutuskan agar setiap orang Muhajirin mencari dan
mengangkat seorang dari kalangan Ansar menjadi saudaranya senasab
(seketurunan), dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Demikian juga sebaliknya
orang Ansar.
Rasulullah
SAW memberi contoh dengan mengajak Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya. Apa
yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dicontoh oleh seluruh sahabat misalnya:
· Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW,
pahlawan Islam yang pemberani bersaudara dengan Zaid bin Haritsah, mantan
hamba sahaya, yang kemudian dijadikan anak angkat Rasulullah SAW.
· Abu Bakar ash-Shiddiq, bersaudara dengan Kharizah
bin Zaid.
· Umar bin Khattab bersaudara denga Itban bin Malik
al-Khazraji (Ansar).
· Abdurrahman bin Auf bersaudara dengan Sa’ad bin
Rabi (Ansar).
Demikianlah
seterusnya setiap orang Muhajirin dan orang Ansar, termasuk Muhajirin setelah
hijrahnya Rasulullah SAW, dipersaudarakan secara sepasang- sepasang, layaknya
seperti saudara senasab.
Persaudaraan
secara sepasang–sepasang seperti tersebut, ternyata membuahkan hasil sesama
Muhajirin dan Ansar terjalin hubungan persaudaraan yang lebih baik. Mereka
saling mencintai, saling menyayangi, hormat-menghormati, dan tolong-menolong
dalam kebaikan dan ketakwaan.
Kaum
Ansar dengan ikhlas memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin berupa
tempat tinggal, sandang-pangan, dan lain-lain yang diperlukan. Namun kaum
Muhajirin tidak diam berpangku tangan, mereka berusaha sekuat tenaga untuk
mencari nafkah agar dapat hidup mandiri. Misalnya, Abdurrahman bin Auf
menjadi pedagang, Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Ali bin Abu Thalib menjadi
petani kurma.
Kaum
Muhajirin yang belum mempunyai tempat tinggal dan mata pencaharian oleh
Rasulullah SAW ditempatkan di bagian Masjid Nabawi yang beratap yang disebut Suffa
dan mereka dinamakan Ahlus Suffa (penghuni Suffa). Kebutuhan-kebutuhan
mereka dicukupi oleh kaum Muhajirin dan kaum Ansar secara bergotong-royong.
Kegiatan Ahlus Suffa itu antara lain mempelajari dan menghafal
Al-Qur’an dan Hadis, kemudian diajarkannya kepada yang lain. Sedangkan
apabila terjadi perang antara kaum Muslimin dengan kaum kafir, mereka ikut
berperang.
Pada
waktu Rasulullah SAW menetap di Madinah, penduduknya terdiri dari tiga
golongan, yaitu umat Islam, umat Yahudi (Bani Qainuqa, Bani Nazir dan Bani
Quraizah) dan orang-orang Arab yang belum masuk Islam. Agar stabilitas
masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian
dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang
Yahudi sebagai suatu komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki
hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin
dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri
itu dari serangan luar.
Piagam
ini mestilah dipatuhi oleh semua penduduk Madinah yang muslim atau bukan
Muslim. Strategi ini telah menjadikan Madinah sebagai model Negara Islam yang
adil, membangun serta digrandungi oleh musuh-musuh Islam. Piagam ini dikenal
dengan sebutan Piagam Madinah.
Menurut
Ibnu Hisyam, Rasulullah SAW membuat perjanjian dengan penduduk Madinah
non-Islam dan tertuang dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah itu antara lain
berisi:
a.
Setiap golongan dari ketiga
golongan penduduk Madinah memiliki hak pribadi, keagamaan dan politik.
Sehubungan dengan itu setiap golongan penduduk Madinah berhak menjatuhkan
hukuman kepada orang yang membuat kerusakan dan memberi keamanan kepada orang
yang mematuhi peraturan.
b.
Setiap individu penduduk Madinah
mendapat jaminan kebebasan beragama.
c.
Seluruh penduduk kota Madinah
yang terdiri dari kaum Muslimin, kaum Yahudi dan orang-orang Arab yang belum
masuk Islam sesama mereka hendaknya saling membantu dalam bidang moril dan
materiil. Apabila Madinah diserang musuh, maka seluruh penduduk Madinah harus
bantu-membantu dalam mempertahankan kota Madinah.
d.
Rasulullah SAW adalah pemimpin
seluruh penduduk Madinah. Segala perkara dan perselisihan besar yang terjadi
di Madinah harus diajukan kepada Rasulullah SAW untuk diadili sebagaimana
mestinya.
Pada
saat Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, masyarakatnya terbagi menjadi
berbagai kelompok besar, yaitu kelompok Muhajirin dan kelompok Anshar,
Yahudi, Nasrani, dan penyembah berhala. Pada awalnya, mereka semua menerima
kedatangan Nabi dan umat Islam. Namun setelah masyarakat muslim berkembang
menjadi besar dan berkuasa, mereka mulai menaruh rasa dendam dan tidak suka.
Untuk
mengatasi berbagai persoalan tersebut, Nabi saw mencoba menata sistem sosial
agar mereka dapat hidup damai dan tenteram. Untuk kalangan umat Islam, Nabi
saw telah mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Sementara untuk
kalangan non muslim, mereka diikat dengan peraturan yang dirancang Nabi dan
umat Islam yang tertuang di dalam Piagam Madinah.
Pada
masa Rasulullah, penduduk Madinah mayoritas sudah beragam Islam, sehingga
masyarakat Islam sudah terbentuk, maka adanya pemerintahan Islam merupakan
keharusan. Rasulullah SAW selain sebagai seorang Nabi dan Rasul, juga tampil
sebagai seorang Kepala Negara (khalifah).
Sebagai
Kepala Negara, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar bagi setiap sistem
politik Islam, yakni musyawarah. Melalui musyawarah, umat Islam dapat
mengangkat wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintahan, serta membuat
peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan syarat,
peraturan-peraturan itu tidak menyimpang dari tuntutan Al-Qur’an dan Hadis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
penjelasan makalah di atas, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa dakwah
Rasulullah SAW periode Madinah itu merupakan dakwah lanjutan yang dilakukan Rasulullah
SAW pada saat beliau hijrah dari kota Mekah ke kota Madinah. Dimana dalam
periode Madinah ini, pengembangan Islam lebih ditekankan pada dasar-dasar
pendidikan masyarakat Islam dan pendidikan sosial kemasyarakatan.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan guna perbaikan makalah kami dimasa yang akan datang.
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Belum ada tanggapan untuk "MAKALAH SEJARAH DAKWAH NABI MUHAMMAD SAW"
Posting Komentar