BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia informasi dan tekhnologi yang semakin canggih
saat ini, membuat keseluruhan produk hasil rekayasa tekhnologi menjadi bagian
hidup tersendiri dalam masyarakat untuk berkomunikasi. Salah satunya adalah
“Sosial Media” yang sedang menjadi trend masyarakat, terutama kaum muda untuk
memanfaatkannya sebagai jejaring dalam berkomunikasi.
Hal inilah yang rupanya menjadi incaran tersendiri
bagi para figur panggung politik yang akan menaiki tahta kepresidenan untuk
berkampanye dan menjaring seluruh komunitas dalam masyarakat melalui sosial
media. Namun sebelumnya, kita harus mengetahui apa sosial media, dan peranan
apa yang dilakukan oleh sosial media dalam berkampanye?
BAB II
PEMBAHASAN
Peran Media Sosial Dalam Politik
A. Pengertian dan Peran Sosial Media
Media sosial atau sosial media adalah sebuah media
online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan
menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Pendapat lain mengatakan bahwa media
sosial adalah media online yang mendukung interaksi sosial dan media sosial
menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi menjadi dialog
interaktif.
Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan
media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun
di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan
dan pertukaran user-generated content.
Dari berbagai jenis sosial media, Blog dan Jejaring
sosial adalah sosial media yang paling sering digunakan. Jejaring sosial
merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian
terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Contoh
Jejaring sosial antara lain Facebook, Myspace, dan Twitter.
Perbedaan sosial media dengan media konvensional
adalah ika media konvensional menggunakan media cetak dan media broadcast, maka
media sosial menggunakan internet sebagai sarana komunikasinya. Adapun ciri
sosial media adalah sebagai berikut :
• Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk
satu orang saja namun bisa keberbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS
ataupun internet
• Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus
melalui suatu Gatekeeper
• Pesan yang di sampaikan cenderung lebih
cepat di banding media lainnya
• Penerima pesan yang menentukan waktu
interaksi
Perkembangan tekhnologi, juga turut serta diringi
dengan perkembangan sosial media yang memudahkan seluruh pengguna untuk
mengaksesnya hanya dengan melalui handphone. Perkembangan inilah yang
menjadikan sosial media sebagai media yang efektif untuk menyampaikan informasi
atau sesuatu. Selain digunakan untuk menyampaikan informasi atau berita, media
sosial saat ini marak digunakan untuk berbisnis, untuk transaksi, bahkan untuk
belajar dengan segudang fitur ilmu yang terdapat didalamnya serta kemudahan dan
kecepatannya dalam memberikan informasi atau sesuatu.
Posisi kemudahan dan kecepatan sosial media dalam
menyampaikan informasi inilah yang membuat peran sosial media kini penting
untuk segala hal, sehingga dipilih sebagai media yang efektif, bahkan untuk
berkampanye.
B. Peran Sosial Media Untuk Kampanye
Kampanye merupakan hal yang tak lepas dalam kompetisi
politik untuk mensosialisasikan para figur yang bertanding. Berbagai cara dan
gerakan mereka lakukan untuk menarik suara dan simpati publik. Salah satunya
adalah dengan berkampanye melalui dunia maya yang memanfaatkan sosial media
sebagai sarana komunikasi yang sedang dekat dengan masyarakat.
Sosial media dianggap sebagai media komunikasi yang
efektif untuk bersosialisasi terhadap masyarakat. dengan memanfaatkan jejearing
sosial yang ada dan banyak digunakan masyarakat seperti twitter, facebook,
blog, dll.
Terbukti, belakangan ini berkampanye melalui media
sosial menjadi trend tersendiri dalam dunia politik terutama menjelang pilpres
9 Juli mendatang bahkan terdapat gerakan-gerakan khusus dari simpatisan untuk
berkampanye di dunia maya.
Sebagai contoh, dalam Pilgub DKI Jakarta dua tahun
lalu, terdapat gerakan di dunia maya untuk mendukung Jokowi-Ahok. Mereka
menamakan diri dengan Jokowi Ahok Social Media Volunteers (JASMEV). Gerakan
tersebut kini kembali aktif untuk mendukung Jokowi-JK dalam berkampanye di
dunia maya untuk memenangkan pilpres 9 Juli mendatang.
Tak hanya itu, lawan politik Jokowi-JK, Prabowo-Hatta
juga banyak memanfaatkan sosial media sebagai media kampanyenya. Meski tidak
ada gerakan atau komunitas khusus di dunia maya untuk Prabowo-Hatta, namun para
simpatisan Jokowi-JK bergerak melalui facebook, yaitu sebanyak 5000 followers.
Selain facebook, Prabowo-Hatta lebih banyak
memanfaatkan website atau blog-blog resmi mereka. Dalam google trends, Prabowo
mengungguli pasangan Jokowi-JK dengan perolehan skors sebanyak 78. Selain itu,
pengunjung blog resmi milik Prabow juga semakin meningkat dengan jumlah saat
ini sekitar 252,15 orang untuk global dan 8,052 orang untuk Indonesia.
Setelah kita pelajari, terbukti bahwa kegiatan
kampanye melalui dunia maya cukup menarik simpati masyarakat dan memilki
jangkauan yang luas dalam berkomunikasi. Namun, apakah sebenarnya kampanye
malalui dunia maya sudah efektif? Adakah kekurangan dari kampanye melalui dunia
maya?
C. Kekurangan Kampanye Melaui Sosial Media
Dalam kegiatannya sebagai mesin penjaring suara
masyarakat, tentunya sosial media memilki jangakaun yang luas. Namun ditengah
trendnya yang sedang melambung dimasyarakat, ternyata kampanye melalui sosial
media masing kurang untuk menajngkau masyarakat di daerah-daerah terpencil di
Indonesia seperti pedalaman Kalimantan, dan masyarakat daerah-daerah pegunungan
yang masih jauh dari jangkauan komunikasi elektronik.
Dalam pemanfaatan jejaring sosial, banyak para oknum
yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakan jaringan informasi yang
dipublikasikan untuk masyarakat sehingga muncul “Kampanye Hitam” atau “Black
Campaigns”.
“Kampanye Hitam” atau “Black Campaigns” yang belakangan ini melibatkan media
sebagai perantara untuk menyampaikan pesan-pesan yang sesungguhnya diluar dari
etika politik. Black Campaigns atau kampanye hitam secara terminologi dapat
diartikan sebagai kampanye dengan cara jahat yang dilakukan untuk menjatuhkan
lawan politik dengan isu, tulisan, atau gambar yang tidak sesuai denagn fakta
dengan tujuan untuk merugikan dan menjatuhkan orang lain.
Dalam perspektif etika politik, secara hukum kampanye
hitam merupakan bagian kampanye yang dilarang dalam Undang-undang. Seperti
ditegaskan dalam Pasal 84 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan
presiden dan Wakil Presiden ditegaskan menganai aturan kampanye, yang melarang
sejumlah kampanye sebagai berikut :
1. Kampanye tidak boleh mempersoalkan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua;
2. Kampanye tidak boleh dilakukan yang
membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Kampanye tidak boleh dilakukan dengan cara
menghina seseorang, ras, suku, agama, golongan calon atau peserta pemilu yang
lain;
4. Menghasut dan mengadu domba perseorangan
ataupun masyarakat;
5. Mengganggu ketertiban umum;
6. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau
menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota
masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
7. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga
Kampanye Peserta Pemilu;
8. Menggunakan fasilitas pemerintah,tempat
ibadah, dan tempat pendidikan;
9. Membawa atau menggunakan tanda gambar
dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu
yang bersangkutan;
10. Menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya kepada peserta kampanye.
Kecanggihan dan kemudahan tekhnologi membuat kampanye
hitam juga semakin mudah dilakukan. Seperti yang pernah terjadi beberapa waktu
lalu, sebuah sosial media sempat memberitakan kampanye hitam yang menimpa
capres Jokowi dengan isi sebuah konten foto Jokowi yang bertuliskan RIP (telah
meninggal dunia) Ir, Herbertus Jokowidodo (Oey Hong Liong). Dalam konten
tersebut juga dituliskan para rekan yang turut berduka cita seperti ketua umum
PDIP megawati Soekarnoputri.
Contoh tersebut merupakan salah satu dari bagian
kampanye hitam atau ‘Black Campaigns” yang tidak mencerminkan etika politik
dengan memanfaatkan jejaring sosial untuk menebar isu yang buruk untuk saling
menjatuhkan dalam lawan politik.
Kampanye hitam dapat dianggap sebagai penyalahgunaan
dari kampanye melalui jejaring sosial sehingga dapat kita simpulkan, kampanye
melalui sosial media juga berdampak negatif terhadap penyebaran-penyebaran isu
politik yang negatif yang saling menjatuhkan dan tidak mendidik bagi
masyarakat. Sehingga dalam praktiknya, masih harus diperlukan pengaturan khusus
untuk mengatur mengenai kegiatan dalam berkampanye melalui sosial media.
Kesimpulannya bahwa kesuksesan dalam sebuah pemilu,
tidak hanya dipengaruhi oleh efektifitas berkampanye melalui sosial media,
sebab interaksi langsung dengan masyarakat lebih diperlukan untuk menjaga jarak
antara pemimpin dengan masyarakatnya dan kesigapan seorang pemimpin untuk
menyelesaikan langsung permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Kehadiran sosial media sebagai media kampanye,
menuntun masyarakat untuk lebih cerdas dalam menyikapi isu-isu politik yang ada
dengan menjunjung tinggi etika politik sebagai cermin masyarakat yang berbudi
pekerti luhur dimata dunia dan mencintai perdamaian.
D. Peran Media dan Opini Publik dalam Politik Luar Negeri
Di era yang globalasasi dan informasi ini hampir tidak
ada sesuatu yang tidak tersentuh oleh media. Piers Robinson dan kawan-kawan
mengatakan bahwa pada dasarnya kondisi real saat ini media massa merupakan
suatu hal yang dapat mempengaruhi paradigma, perspektif dan opini, dan ternyata
keberadaan media massa juga dapat mempengaruhi secara langsung politik luar
negeri suatu negara (Piers, 2003).
Bahkan, dengan semakin meluasnya jangkauan fenomena
terhadap realitas, terkadang media juga dapat menghadirkan sebuah hiperrealitas
yang pada akhirnya akan dipercayai sebagai sebuah realitas. Kondisi ini akan
menghasilkan suatu pandangan yang tidak objektif. Media massa sangat terkait
dengan opini publik, ini disebabkan media massa memiliki akses yang luas atas
informasi (Piers, 2003).
Dengan penyajian dan penggambaran yang dilakukan oleh
media, opini publik akan dapat terkonstruksi sedemikian rupa dalam memandang
suatu fenomena. Dalam sebuah pemerintahan, opini publik berguna untuk
mengontrol kinerja pemerintah secara tidak langsung. Kontrol ini dapat muncul
karena opini publik adalah salah satu simbol legitimasi masyarakat terhadap
pemerintah. Namun, paradoksnya adalah opini publik lagi-lagi bisa muncul akibat
dari produk media massa yang telah mengolah serta membungkus sebuah fenomena.
Media massa adalah sebuah komoditas yang mampu
membentuk opini publik sehingga seringkali media diarahkan untuk membentuk satu
isu-isu yang tidak objektif demi satu kepentingan tertentu (Piers, 2003).
Perdebatan yang muncul mengenai peran media massa
serta opini publik dalam pengambilan kebijakan luar negeri menempatkan
pandangan liberalis-demokratis dengan realis pada dua posisi yang bertentangan.
Menurut liberalis-demokratis, media massa dan opini publik memiliki peran aktif
dan positif guna menjaga dan membatasi para pembuat kebijakan dengan
mengedepankan akomodasi dan akuntabilitas publik sehingga akan tercipta
pemerintahan yang stabil (Holsti, 1992).
Sedangakan menurut realis skeptis berpendapat bahwa
media massa dan opini publik hanya akan menjadi penghambat dari pelaksanaan
pemerintahan karena media massa dan opini publik tidak memiliki dimensi
rasionalitas yang stabil dan cenderung dibangun berdasarkan hiperrealitas dan
emosionalitas saja yang tidak kontributif terhadap keberlangsungan
pemerintahan. Opini publik adalah sebuah hal yang sangat terpengaruh oleh
banyak variabel diatranya adalah media dan perspektif masyarakat (Fearan,
1998).
Dalam hal ini
iperlukan sebuah diplomasi publik untuk memberikan signifikansi pada politik luar
negeri agar dapat melibatkan masyarakat secra luas ke dalam politik luar
negeri. Opini publik juga sangat menentukan dalam politik luar negeri, seperti
kebijakan Amerika Serikat untuk menginvasi Irak dan Afganistan yang mendapatkan
tentangan dari publik Amerika Serikat yang akhirnya memaksa pemerintah Amerika
Serikat untuk mempertimbangkan lagi kebijakan tersebut.
Media massa dengan kebijakan luar negeri juga memiliki
hubungan yang relatif dekat. Kebijakan luar negeri banyak dimainkan dan
diciptakan oleh elit dan para pembuat kebijakan yang tentu saja merupakan
pejabat pemerintahan ini senada dengan apa yang dikatakan oleh James Fearon.
Sedangkan media massa dan opini publik tidak serta
merta dapat menembus gedung-gedung dan kantor-kantor pemerintahan jika memang
tidak begitu kuat mempengaruhi para elit pembuat kebijakan senada dengan apa
yang dikatakan oleh Holsti. Sehingga tidak jarang media massa dan opini publik
hanya dianggap sebagai angin lalu oleh para pembuat kebijakan. Media yang
cenderung terlalu berlebihan dalam merespon sesuatu adalah salah satu sebab
mengapa kemudian banyak pihak menilai media tidak memberikan pandnagan yang
objektif.
E. Media Massa Sebagai Alat Pertarungan Elit Politik
Seperti yang kita ketahui bahwa media massa mempunyai
peran yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia. Tak bisa dipungkiri bahwa
hampir pada setiap aspek kegiatan manusia, baik secara pribadi maupun umum,
selalu berhubungan dengan aktifitas komunikasi massa. Hasrat interaksi antar
individu atau masyarakat yang tinggi tersebut menemukan salurannya yang paling
efektif dan terandalkan dalam berbagai bentuk media massa, guna saling
berkomunikasi dan bertukar informasi.
Dalam perkembangannya, media massa memang sangat
berpengaruh di wilayah kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. Dari
aspek sosial-budaya, media adalah institusi sosial yang membentuk definisi dan
citra realitas serta dianggap sebagai ekspresi sosial yang berlaku umum; secara
ekonomis, media adalah institusi bisnis yang membantu masyarakat untuk
memperoleh keuntungan dari berbagai usaha yang dilakoni; sedang dari aspek
politik, media memberi ruang atau arena pertarungan diskursuf bagi kepentingan
berbagai kelompok sosial-politik yang ada dalam masyarakat demokratis.
Oleh karena begitu vitalnya peran media massa dalam
berbagai aspek kehidupan publik, maka memicu banyak pihak dari golongan politik
tertentu yang mencoba memanfaatkan media massa sebagai alat untuk mencapai
tujuannya dan secara hegemonik kerap memaksakannya kepada publik. Diantara
mereka bahkan mampu menguasai media secara keseluruhan, yakni menjadi pemilik
perusahaan media massa.
Hal seperti ini juga terungkap dalam teori
ekonomi-politik media yang dikemukakan oleh Golding dan Murdock. Dengan memakai
pendekatan strukturasi Giddens, mereka menguraikan bahwa media massa memang
telah menjelma sebagai industri yang menjual produk berupa informasi untuk
dikonsumsi masyarakat demi memperoleh profit bagi pemiliknya.
Pola ini telah menggurita secara global dalam suatu
sistem kapitalisme media, dimana media massa berperan penting sebagai agen
ideologis yang membentuk pola fikir dan memandu perilaku konsumennya. Nilai
umum yang biasanya ditanamkan adalah perihal memacu hasrat konsumsi, pandangan
hidup liberal, melegitimasi wacana investasi dan pasar bebas, hingga
memassifkan budaya trend-popular dan sebagainya.
Namun, pendekatan strukturasi ini juga melirik bahwa
determinasi kapitalisme global menjadi satu-satunya penentu nilai-nilai apa
yang akan disebar melalui media massa tidaklah patut diterima begitu saja.
Sebab, dalam rantai strukturnya, terdapat agen-agen lokal yang memiliki peranan
aktif dan kreatif dalam proses pengendalian pengaruh media massa terhadap
pembentukan opini publik sesuai dengan kepentingan politis yang hendak dicapai
golongannya (Sunarto, 2009)
Sebagai contoh yang paling kasat mata, misalnya ANTV dan TV One adalah kepunyaan dari
Aburizal Bakrie ketua umum partai Golkar, sedangkan Surya Paloh sebagai ketua
umum partai Nasdem merupakan pemilik dari Metro TV dan harian cetak Media
Indonesia Group, kemudian MNC Media Group yang meliputi MNC TV, RCTI, Global
TV, dan harian cetak Sindo berada di bawah kepemilikan Hary Tanoesoedibjo yang
juga menjadi ketua dewan pertimbangan partai Hanura sekaligus ketua umum ormas
Perindo. Ketiga sosok pemilik media massa ini bukanlah pengusaha biasa, namun
juga praktisi politik. Maka, disadari ataupun tidak, ini berdampak pada
kecenderungan media tersebut mengarahkan gagasan politik dan pencitraan tokoh
masing-masing ke dalam setiap pemberitaannya.
Pada dasarnya, secara ideal, pemberitaan media massa
haruslah sesuai dengan azas dan prinsip jurnalistik yang berlaku secara
universal, yakni menjunjung tinggi azas objektifitas, akurat, adil, berimbang,
dan menegaskan posisi netralitasnya. Selain itu, wajib hukumnya setiap pelaku
jurnalistik dalam pemberitaannya untuk menaati kode etik. Privatisasi atau
kepemilikan pribadi maupun kelompok atas perusahaan media massa sebenarnya
bukanlah masalah, sepanjang pemberitaan yang disebarkan kepada masyarakat luas
senantiasa tunduk pada azas serta prinsip ideal tersebut.
Menjadi masalah kemudian, apabila terjadi penyimpangan
terhadap fungsi media sebagai sarana komunikasi massa yang mengutamakan
kepentingan publik, terutama jika hal ini dilakukan oleh sang pemilik modal itu
sendiri. Sebagai pemilik dari suatu perusahaan media, tentunya mereka memiliki
kuasa lebih untuk mengintervensi kebijakan redaksi. Sayangnya, beberapa pihak
yang disebut di atas maupun pihak lain yang mengindikasikan fenomena serupa justru
beralih memanfaatkan situasi ini untuk memuluskan proyek politik pribadi maupun
golongannya saja, sehingga objektifitas pemberitaan sebagai syarat bagi
informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat demokratis telah dikesampingkan.
Sekarang ini, fenomena pemanfaatan media massa sebagai
alat politik bagi pertarungan kepentingan elit tertentu telah menjadi gejala
umum yang terus menjalar tidak hanya di ranah nasional tetapi juga di daerah.
Berbagai ajang pencitraan yang berlebihan, tendensi sikap yang diskriminatif
terhadap golongan atau tokoh tertentu, serta berbagai upaya pemelintiran
substansi pemberitaan pun kerap dengan mudah kita jumpai.
Kondisi seperti ini merupakan paradoks dilematis yang
telah menciderai kehidupan masyarakat demokratis, dimana setiap orang memiliki
hak untuk memperoleh informasi publik yang objektif. Sementara media massa
sebagai sarana pemenuhan informasi paling mainstream justru mulai ditunggangi
oleh elit politik tertentu yang berkepentingan mengarahkan pilihan politik
masyarakat kepada apa yang dia munculkan sebagai pilihan tunggal.
Sebagai konsumen informasi, masyarakat tidak boleh
terus menerus pasrah melihat keadaan ini, nalar kritis haruslah dijadikan
pedoman setiap menerima informasi publik dari media manapun. Jangan pula kondisi
ini membuat kita menjadi apatis dan cenderung tak pro aktif mengikuti
perkembangan informasi publik, karena justru hanya akan merugikan kita. Upaya
konfirmasi dan komparasi dengan media massa lain tentang suatu tema pemberitaan
yang sama haruslah dijadikan pertimbangan sebelum kita menentukan kesimpulan
sendiri.
Sebagai insan media, tentu hal ini patut kembali
direnungkan, baik oleh mereka kuli tinta di lapangan maupun dibalik meja
redaksi, mengingat kembali pentingnya berkeras menegakkan idealisme jurnalis
yang menitipkan tanggung jawab objektifitas pemberitaan informasi publik dengan
pedoman tunggal, yakni mengutamakan kepentingan masyarakat umum, bukan golongan
apalagi elit tertentu saja. Berpolitik praktis secara aktif tentu menjadi hak
bagi setiap orang, namun akan lebih bijaksana jika pengusaha pemilik industri
media massa lebih mengedepankan profesionalisme dalam menjalankan bisnisnya.
Bukankah perjuangan politiknya haruslah meraih legitimasi publik secara
demokratis, bukan dengan pemaksaan terselubung seperti yang nampak selama ini.
F. Media Dalam Kontrestati Politik
Dalam menyemarakkan pesta demokrasi ini, media, baik
cetak maupun elektronik tentulah punya peran sangat dominan. Tak bisa
dimungkiri bahwa pemberitaan melalui media massa punya pengaruh sangat besar
dalam memengaruhi persepsi publik. Tidak heran, beberapa media nasional pun
terindikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan penyimpangan dalam
pemberitaan menjelang pemilihan presiden.
Beberapa media mengeksploitasi kekurangan pasangan
calon tertentu yang bertujuan untuk menjatuhkan. Kampanye negatif pun marak
disuguhkan kepada publik hari ini. Benarlah kata Kieran di atas bahwa berita
tidaklah dibentuk dari ruang yang hampa. Berita diproduksi dari ideologi yang
dominan. Ideologi itulah yang memengaruhi framing (pembingkaian) dalam
pemberitaan. Oleh karena itu, publik seharusnya memahami ideologi di balik
sebuah media.
G. Framing” Dan Ideologi
Dalam dunia jurnalistik tentulah tidak asing lagi
istilah framing dalam pemberitaan, yakni berkaitan dengan bagaimana realitas
dibingkai dan disajikan kepada khalayak. Sebuah berita bisa jadi dibingkai dan
dimaknai secara berbeda oleh media. Proses membingkai dan menyajikan fakta itu
sendiri sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dimiliki media tersebut.
Peta ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa
dilihat dan diletakkan dalam tempat-tempat tertentu. Ideologi juga memengaruhi
bagaimana sesuatu itu dibahasakan sehingga menghasilkan makna atau pesan yang
berbeda.
Di situlah letak kekuatan bahasa yang mampu menguasai
publik yang mengonsumsinya. Kekuasaan itu sendiri tidak terlepas dari bahasa.
Maka, media pun bertarung dalam bahasa yang dibingkai, yang sangat dipengaruhi
oleh ideologi atau kepentingan dari media tersebut.
Penulis yakin sebagian besar rakyat Indonesia yang
menonton kontestasi politik hari ini mengatakan Jokowi-JK baik dan
Prabowo-Hatta kurang baik, atau sebaliknya, lebih karena pemberitaan lewat
media. Bukan karena mengetahui secara dekat tokoh tersebut.Proses pembingkaian
dalam pemberitaan oleh beberapa media inilah yang mendapatkan perhatian dari
KPI. Media televisi seperti TVOne, RCTI, MNC TV, dan Global TV memiliki porsi
pemberitaan yang lebih banyak untuk kandidat nomor urut satu, Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa. Sebaliknya, MetroTV dinilai lebih banyak memberikan
porsi pemberitaan untuk Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Model pembingkaian pemberitaan yang berbeda tersebut
tentulah dipengaruhi oleh kepentingan (ideologi) dari masing- masing media, di
mana ideologinya lebih banyak ditentukan oleh kepemilikan media tersebut.
TVOne, misalnya, lebih banyak memberikan porsi pemberitaan untuk pasangan
Prabowo-Hatta karena Aburizal Bakrie selaku pemiliknya adalah koalisi politik
Prabowo-Hatta dalam menghadapi pilpres mendatang.
Begitupun RCTI, MNC TV, dan Global TV yang dinilai
lebih berpihak pada pasangan nomor urut satu tersebut karena Hary
Tanoesoedibjo, pemiliknya, berlabuh ke gerbong Prabowo-Hatta setelah gagal
mendapatkan target politiknya bersama Wiranto dan partainya, Hanura.
Sementara MetroTV cenderung mengangkat pasangan
Jokowi-JK karena pemiliknya, Surya Paloh—yang juga Ketua Umum Nasdem—bergabung
dalam barisan Jokowi-JK. Itulah yang memengaruhi perbedaan dalam proses
membingkai dan membahasakan apa pun terkait dengan pasangan tersebut.
Seperti itulah peran media dalam kontestasi politik
untuk memilih pemimpin 9 Juli nanti. Tentu banyak media lokal lainnya yang
terperangkap oleh ideologi dari pemiliknya dalam membingkai berita terkait
dengan kedua pasangan tersebut, mengangkat atau menjatuhkan.
- Pengaruh Media
Sudah cukup lama Alvin Toffler menuliskan fenomena ini
bahwa yang akan kita peroleh bukannya demokrasi, melainkan teknokrasi, di mana
kekuasaan politik dimonopoli oleh kelas ketiga (pemilik media). Lebih dari 10
tahun silam, Silvio Berlusconi berhasil merebut kursi kekuasaan di Italia
karena menguasai media. Kita pun akrab dengan jargon bahwa siapa yang menguasai
media maka dialah yang menguasai dunia. Contoh lain adalah tergulingnya
Muhammad Mursi dari kursi kepresidenan Mesir, awal Juli 2013, tidak lepas dari
ketidakberpihakan media kepada dirinya.
Seperti itulah pengaruh media dalam kancah politik
saat ini, baik nasional maupun internasional. Media menjadi sangat menentukan
untuk membunuh atau mengangkat sang tokoh. Menyadari pentingnya peran media
itulah yang membuat para capres berlomba menggaet kelas ketiga di atas, pemilik
media. Untungnya, para pemilik media tidak hanya berlabuh dalam satu gerbong
koalisi sehingga terjadi kontestasi dalam memengaruhi publik lewat media.
Peran media memang sangat besar dalam memunculkan
figur tertentu sebagai pemimpin, tetapi media bukanlah segalanya. Rakyat
Indonesia baru saja mendapatkan pelajaran dari hal tersebut, yakni menjelang
pemilihan anggota legislatif 9 April lalu.
Saat itu Partai Hanura lebih awal mendeklarasikan
pasangan capres-cawapresnya, yaitu Wiranto-Hary Tanoesoedibjo (HT). Setelah
itu, kedua tokoh ini hampir setiap saat dapat disaksikan oleh masyarakat
Indonesia lewat jaringan televisi milik HT, MNC TV Group. Faktanya, dalam pileg
lalu, Hanura adalah peraih suara paling sedikit dari parpol yang lolos
electoral threshold.
Artinya, walaupun punya pengaruh yang sangat besar,
media bukanlah segalanya. Apakah kekuasaan politik Indonesia ke depan akan
ditentukan oleh kelas penguasa media? Rakyatlah yang menentukan dan berbicara.
Yang pasti, kita berharap rakyat harus lebih pandai mengonsumsi pemberitaan
lewat media yang tidak lahir dari ruang yang hampa.
BAB
III
PENUTUP
Inilah peran sentral dari media massa yang saat ini
dijadikan alat ataupun senjata bagi individu/kelompok yang mempunyai
kepentingan-kepentingan politik. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa
kelompok kepentingan atau dalam hal ini adalah partai politik sangat erat
hubungannya terhadap pentingnya peran media itu sendiri. Apalagi mengingat
media massa yang telah diberikan hak kebebasan untuk mengeluarkan suara atau
opini-opini public baik itu tentang kebijakan pemerintah atau isu-isu politik
yang lain.
Dalam peranannya media massa saling berhubungan erat dengan
individu/masyarakat, partai politik, komunikasi politik, dan budaya/partisipasi
politik di Indonesia. Pada intinya dalam dunia politik, atau kalau merujuk pada
masalah Pemilu legislative dan eksekutif, para actor dan masing-masing partai
politik untuk mendapatkan simpati dari masyarakat harus melakukan komunikasi
politik terhadap masyarakat (suara pemilih) secara tepat agar isu-isu politik
dan kepentingan politik tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Agar komunikasi politik yang diharapkan dapat teraktualisasi
secara tepat, maka butuh wadah atau media yang memfasilitasi, yaitu media
massa. Media massa disini dapat berbentuk media cetak seperti koran, majalah,
rekalame, pamflet, sticker, ataupun media massa elektronik seperti televisi,
radio, dan Internet. Bahkan dapat melalui media massa dengan bentuk turun
lapangan langsung.
Dengan adanya komunikasi politik melalui media massa, partai
politik dalam mencapai tujuan kepentingan politiknya akan mudah tersampaikan pada
masyarakat. Dengan demikian, bisa saja masyarakat yang mempunyai hak suara
dalam Pemilu akan menggunakan hak suaranya untuk memilih partai politik yang
mempunyai kedekatan emosional terhadap pemilik hak suara tersebut. Hal ini
secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingakat partisipasi politik
masyarakat Indonesia dalam Pemilu laegislatif/eksekutif.
DAFTAR PUSTAKA
1)
Cangara, H. (2009). Komunikasi Politik. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. hlm.34 Miriam Budiardjo (2010). Dasar-dasar ilmu
Politik (edisi revisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm.152.
2)
Prentice - Hall. hlm.166. Kegiatan politik
merupakan suatu interaksi atau dapat dikatakan adalah suatu kegiatan
berkomunikasi antara orang-orang. Politik sangat berkaitan erat dengan apa
yang disebut dengan komunikasi. Salah satu kajian penting dalam kegiatan
politik yaitu bahwa semua kegiatan politik sangat berhubungan dengan komunikasi
3)
Rakhmat, J. (1993). Komunikasi Politik:
Komunikator, Pesan, Media. Bandung: Remaja Rosdakarya Offest.Hlm.8.
4)
Roskin, M. (1977). Political Science An
Introduction, Sixt Edition. New Jersey:
Belum ada tanggapan untuk "Makalah Peranan Sosial Media Dalam Berkampanye"
Posting Komentar