Pada kesempatan ini, saya bermaksud untuk memberikan sedikit gambaran tentang skripsi "Kebijakan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Penanggulangan bahaya HIV/AIDS pada Kalangan Remaja (Studi pada Kota Lhokseumawe". dan ini adalah salah satu contoh skripsi yang sudah di sidangkan oleh dosen penguji di salah satu universitas yang berdomisili di wilayah barat indonesia. dengan demikian sobat langsung bisa memanfaatkan contoh skripsi ini untuk di jadikan sebagai contoh pembelajaran penyusunan skripi sobat.
Di dalam contoh skripsi yang kita bahas pada kesempatan ini, saya menyertakan semua isi dari pada skripsi yang kita maksud, namun apabila sobat kesulitan melihat tentang tabel-tabel yang digunakan dalam skripsi ini yang mungkin sulit untuk dikenali, maka sobat bisa tinggalkan post komentar sobat di bawah postingan skripsi tentang Komisi penanggulangan AIDS (KPA) yang saya bagikan, dan juga email sobat dan saya akan mengirim file lengkapnya ke email sobat masing-masing, karena file tersebut menjadi abadi di local disk komputer saya dan kemudian saya dengan senang hati untuk berbagi dengan sobat semua.
udah cukup ya sobat basa-basinya, dan langsung aja kita ke inti postingan saya kali ini, yaitu tentang contoh skripsi Kebijakan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Penanggulangan bahaya HIV/AIDS pada Kalangan Remaja :
Apa saja yang saya sertakan dalam skripsi "Kebijakan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Penanggulangan bahaya HIV/AIDS pada Kalangan Remaja (Studi pada Kota Lhokseumawe...?
Di dalam contoh skripsi yang kita bahas pada kesempatan ini, saya menyertakan semua isi dari pada skripsi yang kita maksud, namun apabila sobat kesulitan melihat tentang tabel-tabel yang digunakan dalam skripsi ini yang mungkin sulit untuk dikenali, maka sobat bisa tinggalkan post komentar sobat di bawah postingan skripsi tentang Komisi penanggulangan AIDS (KPA) yang saya bagikan, dan juga email sobat dan saya akan mengirim file lengkapnya ke email sobat masing-masing, karena file tersebut menjadi abadi di local disk komputer saya dan kemudian saya dengan senang hati untuk berbagi dengan sobat semua.
udah cukup ya sobat basa-basinya, dan langsung aja kita ke inti postingan saya kali ini, yaitu tentang contoh skripsi Kebijakan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Penanggulangan bahaya HIV/AIDS pada Kalangan Remaja :
BAB I
PENDAHULUAN
Negara
Indonesia hingga saat ini masih menghadapi masalah kesehatan yang sangat kompleks dan menjadi beban
ganda dalam pembiayaan bidang
kesehatan. Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat Indonesia sebagian besar adalah penyakit infeksi menular salah satunya HIV/AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Penyakit ini merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan
oleh Human Immunodeficiency Virus
(HIV).
Hal ini diperlukan
kebijakan pemerintah. Kebijakan
pemerintah penanggulangan HIV/AIDS menggaris bawahi
kebutuhan serangkaian program layanan yang komprehensif dan bermutu yang
menjangkau masyarakat luas dengan tujuan mencegah dan mengurangi penularan
HIV/AIDS, meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA), mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV/AIDS
pada individu. Kebijakan ini juga memberikan prioritas kepada
program intervensi yang potensial efektif dengan biaya yang dapat dijangkau.
Program layanan yang komprehensif HIV/AIDS yang mencakup promosi dan ekonomi,
perawatan dukungan dan pengobatan, pemberdayaan sosial dan ekonomi, penciptaan
lingkungan fisik dan sosial yang kondusif terhadap upaya penanggulangan serta
penguatan lembaga.
Selanjutnya dari kebijakan
penanggulangannya terhadap penyakit HIV/AIDS dilakukan dengan program
pencegahan transmisi seksual dilakukan melalui promosi penggunaan kondom,
pengobatan dan Voluntary Counseling and
Testing. Dari program-program penanggulangan yang telah dilakukan tersebut
terhadap pencegahan HIV/AIDS terhadap masyarakat ataupun remaja, hal ini
didukung oleh Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 2004 mengamanatkan pembentukan
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Propinsi, dan Kabupaten beserta
Sekretariatnya dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan
AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu, dan bertanggung jawab kepada
kepala wilayah. Pemerintah telah menugaskan Komisi Penanggulangan AIDS di semua
tingkat administrasi untuk memimpin dan mengkoordinasikan upaya penanggulangan
AIDS di tanah air dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang melandasi kerja
Komisi.
Agar terlaksananya
program-program untuk penanggulangan masalah HIV/AIDS, maka Pemerintah Aceh
yang merupakan salah satu Propinsi di Indonesia membuat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah punya kewajiban dan
tugas untuk melakukan penanganan kesehatan dan penanggulangan masalah sosial,
dengan demikian Dinas Kesehatan Aceh
mendirikan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tiap - tiap Provinsi, Kota dan Kabupaten di seluruh
Indonesia. Untuk Provinsi Aceh sendiri terdapat beberapa titik Komisi
Penanggulangan AIDS seperti Kota Banda Aceh, Kota Langsa, Kota
Lhokseumawe, Kota Sabang, Kab Aceh Besar, Kab. Aceh Barat, Kab Aceh Selatan,
Kab Aceh Tamiang, Kab Aceh Tenggara, Kab Aceh Barat Daya, Kab Aceh Jaya, Kab
Singkil, Kab Aceh Tengah, Kab Aceh Timur, termasuk juga Kab Aceh Utara
(www.KPAN.go.id).
Komisi- Komisi tersebut mempunyai tugas dan tanggung jawab
terhadap penanggulangan HIV/AIDS di Propinsi Aceh. Namun penyakit tersebut
masing meningkat. Berdasarkan keterangan Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe (Desember
2015) Penderita HIV/AIDS di Kota Lhokseumawe saat ini mencapai 32 orang yang
mana 24 orang diantaranya tidak dapat diselamatkan, berikut ini data yang
diperoleh di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe.
Tabel 1.1
Penderita HIV/AIDS
Tahun
|
Jenis Kelamin
|
Usia
|
Keterangan
|
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
|||
2011
|
2
|
4
|
>35 tahun
|
-
|
2012
|
6
|
10
|
25 - > 40 tahun
|
Meninggal 1 orang
|
2013
|
6
|
10
|
25 - > 40 tahun
|
-
|
2014
|
10
|
13
|
20 - >
40 tahun
|
Meninggal 9 orang
|
2015
|
11
|
21
|
20 - >
40 tahun
|
Meninggal 24 orang
|
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe (Desember 2015)
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa penderita
HIV/AIDS pada tahun 2011 berjumlah 6 orang, terdiri atas 2 orang laki-laki dan
4 orang perempuan dengan rentang usia diatas 35 tahun. Selanjutnya pada tahun
2012 terjadi peningkatan menjadi 16 orang yang terdiri atas 6 orang laki-laki
dan 10 orang perempuan, dimana rentang usia yang diperoleh antara 25 tahun
sampai diatas 40 tahun dengan kondisi meninggal 1 orang.
Kemudian pada tahun 2013 tidak terjadi peningkatan
apapun dengan kondisi yang sama pada tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 2014
terjadi peningkatan kembali dengan jumlah total sebesar 23 orang yang mengalami
HIV/AIDS dengan rincian 10 orang laki-laki dan 13 orang perempuan dimana 9
orang dinyatakan meninggal dunia. Selanjutnya pada tahun 2015 terjadi
peningkatan yang sangat signifikan terhadap penderita perempuan sebanyak 21
orang dan 11 orang laki-laki dimana 24 orang dinyatakan meninggal dunia.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa penderita HIV/AIDS didominasi oleh kaum perempuan, dimana hal ini dapat
dilihat dari tahun 2011-2015 terus terjadi peningkatan. Setelah dilakukan pra
penelitian diperoleh keterangan bahwa hal ini terjadi karena pekerjaan kaum
perempuan yang sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) sehingga menularkan
penyakit tersebut kepada kaum laki-laki yang suka “jajan” diluar rumah. Para
lelaki yang telah berhubungan dengan PSK tersebut kembali menularkan penyakit
tersebut kepada para istri mereka dirumah. Oleh sebab itu penyakit HIV/AIDS
lebih banyak diderita oleh kaum perempuan.
Adapun program-program yang telah dilakukan oleh KPA Lhokseumawe untuk menanggulangi
masalah HIV/AIDS adalah sebagai berikut:
1.
Bimbingan Teknis Pencegahan dan Penanggulangan
Program HIV – AIDS di kota, sekolah dan kantor.
2.
Kegiatan Sero Surveilans HIV dan IMS
di kota, sekolah dan kantor.
3.
Bimbingan Teknis Kegiatan Pengendalian Penyakit
HIV-AIDS di kota, sekolah dan kantor.
4.
Pelatihan PMTCT untuk pencegahan penularan ibu
positif HIV ke anaknya kota, sekolah dan kantor.
5.
Pertemuan lintas sektor HIV-AIDS
Berdasarkan hasil pengamatan sementara yang
dilakukan oleh peneliti, penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang dilakukan oleh KPA Lhokseumawe belum terealisasi secara lebih mendalam dalam melaksanakan
pengamatan epidemiologi pada kelompok penduduk yang
beresiko tinggi tertular dan menjadi penular/penyebar AIDS. Hal ini disebabkan
karena penyakit AIDS belum ditemukan penawar/obatnya. Walaupun secara teoritis
pihak KPA Lhokseumawe dan pihak-pihak lain yang terkait telah mengetahui
bagaimana cara menular dan cara penanggulangannya terhadap penyakit AIDS, tetap
pihak KPA Lhokseumawe belum berani secara praktisi untuk terjun langsung
mengamati korban-korban pengidap AIDS tersebut dikarenakan momok yang belum ada
obatnya.
Sehingga pengamatan epidemiologi (pola kesehatan
dan penyakit pada populasi tertentu) dilakukan hanya dalam bentuk laporan
tertulis hasil Rumah Sakit atas Check Up rutin
yang dilakukan penderita AIDS. Penyebab
mulai tingginya angka penderita HIV/AIDS karena HIV/AIDS dapat menyerang
melalui empat ruang cairan tubuh manusia, yakni cairan darah, cairan sperma,
cairan vagina, dan air susu ibu (ASI) sehingga penyebab terjangkitnya
masyarakat dengan penyakit ini lebih disebabkan oleh penggunaan jarum suntik
secara bergantian (narkoba) dan hubungan seks secara bebas (Aktudas, 22/10/15).
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Kebijakan
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Penanggulangan bahaya HIV/AIDS pada
Kalangan Remaja (Studi pada Kota Lhokseumawe)”.
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimanakah kebijakan KPA dalam upaya mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS dikalangan remaja
Lhokseumawe?
2.
Apa saja kendala yang dihadapi KPA dalam mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS dikalangan remaja Lhokseumawe?
1.3 Fokus
Penelitian
Penelitian ini hanya difokuskan
pada penanggulangan masalah HIV/AIDS yang dilakukan oleh pihak KPA Lhokseumawe.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1.
Untuk mengetahui kebijakan KPA dalam upaya mencegah
dan menanggulangi HIV/AIDS di kalangan remaja.
2.
Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh KPA Lhokseumawe
dalam upaya mencegah dan
menanggulangi
HIV/AIDS.
1.5.1 Manfaat teoritis
a.
Dapat
memberikan kontribusi ataupun manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan
secara umum khususnya Ilmu Administrasi Negara.
b.
Sebagai masukan bagi Instansi terkait dalam menjalankan
kebijakan penanggulangan HIV/AIDS.
1.4.2
Manfaat Praktisi
a.
Dapat
menjadi masukan dan pertimbangan kepada KPA Lhokseumawe dalam mencegah dan menanggulangi masalah HIV/AIDS.
b.
Bagi
Penulis, Sebagai media untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam penelitian
sehingga dapat menerapkan ilmu yang diperolehnya dalam perkuliahan pada keadaan
yang sebenarnya di lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penelitian
terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2012) yang berjudul Kebijakan
Pemerintah dalam Penanggulangan bahaya HIV dikalangan remaja (studi pada Dinas
Kesehatan Kota Lhokseumawe). Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menilai
bagaimana partisipasi Dinas Kesehatan dalam penanggulangan bahaya HIV
dikalangan remaja di Kota Lhokseumawe. Jenis penelitian ini berbentuk
deskriptif kualitatif.
Hasil
penelitian membuktikan bahwa kebijakan Pemerintah yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kota Lhokseumawe hanya sebatas pemberian penyuluhan kepada para
remaja di lingkungan sekolah. Persamaan dari penelitian yang
dilakukan oleh Nurhayati dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah terdapat kesamaan pada subjek penelitian yaitu bahaya HIV pada kalangan remaja. Selanjutnya perbedaan dari penelitian ini dengan
penelitian yang dilakukan penulis adalah jika penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati
terfokus pada HIV saja dan terdapat perbedaan pada objek penelitian yaitu pada
Dinas Kesehatan, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terfokus
pada bahaya HIV AIDS dan objek penelitian adalah pada KPA Kota Lhokseumawe.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Isra Hasmar (2013) yang berjudul
Efektivitas Fungsi Pengawasan Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) dalam Mencegah dan Menanggulangi HIV/AIDS (studi pada Kantor
KPA Aceh Utara).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi pengawasan Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Aceh Utara dalam upaya mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS serta kendala dan hambatan yang dihadapi
oleh KPA Aceh Utara dalam upaya mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS.
Kesimpulan yang diperoleh adalah hal yang diawasi
oleh pihak KPA Aceh Utara adalah memprioritaskan perkembangan, pencegahan dan
penanggulangan AIDS itu sendiri. Pengawasan
pencegahan dilakukan dengan cara diadakannya berbagai macam program
penyuluhan yang diadakan di sekolah-sekolah bagi orientasi remaja dan
penyuluhan di Gampong bagi masyarakat sekitar. Tetapi jika dilihat dari segi
efektivitas, fungsi pengawasan KPA belum berjalan dengan efektif. Selanjutnya
pengawasan dalam hal penanggulangan adalah pengawasan yang dilakukan kerjasama
antara pihak Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan LSM terkait terhadap orang dengan
AIDS (ODA). Dalam hal ini lembaga
terkait ikut mengawasi orang dengan HIV (ODH) mulai dari perkembangan penyakit
dan siklus hidupnya.
Adapun persamaan penelitian yang
dilakukan oleh Isra Hasmar dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sama-sama
menjalankan program untuk mengurangi dan mencegah penyakit HIV/AIDS yang dilakukan oleh pihak
KPA. Selanjutnya perbedaan nya adalah jika penelitian ini terfokus pada fungsi
pengawasaan yang dilakukan pihak KPA sedangan fokus penelitian penulis adalah kebijakan KPA dalam penanggulangan bahaya HIV/AIDS
yang difokuskan pada kalangan remaja.
2.2
Pengertian Upaya
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata upaya berarti usaha,ikhtiar (untuk mencapai
suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dsb).
Berdasarkan makna dalam kamus Besar Bahasa Indonesia itu,dapat disimpulkan
bahwa kata upaya memiliki kesamaan arti dengan kata usaha, dan demikian pula
dengan kata ikhtiar, dan upaya dilakukan dalam rangka mencapai suatu maksud,
memecahkan persoalan, mencari jalan keluar dan sebagainya.
Adapun yang dimaksudkan upaya disini
adalah kebijakan Pemerintah untuk mencoba dan mencari cara terbaik dan
bermanfaat agar dapat mengurangi dan mencegah penyebaran penyakit HIV/AIDS
dikalangan remaja.
2.3
Pengertian
Kebijakan
Kebijakan mengandung suatu unsur
tindakan untuk mencapai tujuan dan umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh
seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai
hambatan-hambatan tetapi harus mencari
peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang diinginkan. Hal
tersebut berarti kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik
sosial yang ada dalam masyarakat. Apabila kebijakan berisi nilai-nilai yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut
akan mendapat kendala ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan
harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik-praktik yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
Kebijakan menurut para ahli
seperti yang telah dikemukaan oleh Agustino (2008:7) mengartikan kebijakan
sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok,
atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu.
Sedangkan menurut Mustopadidjaja
(2010:12) Kebijakan adalah keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk
mengatasi permasalahan tertentu sebagai keputusan atau untuk mencapai tujuan
tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku
dalam (1) pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik
kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksana kebijakan, (2) penerapan
atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan
dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang
dimaksudkan.
Selanjutnya kebijakan menurut
pendapat Wahab (2004:3) bahwa Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah
pada tujuan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan
dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk
mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Dari pengertian tentang kebijakan
yang dikemukakan para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan kebijakan dalam penelitian ini adalah suatu lingkup kegiatan
yang ditetapkan oleh yang dilaksanakan maupun yang tidak dilaksanakan oleh
pemerintah atau kelompok lain untuk mencapai tujuan tertentu.
2.4 Pengertian
Kebijakan Pemerintah
Menurut Syamsyi (2007 : 30)
menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah adalah pemilihan sebuah alternatife terbaik
dari sekian banyak alternatife yang bersaing satu sama lain untuk mendominasi
yang lainnya, kegiatan ini berlangsung terus menerus. Kebijakan pemerintah
dapat menciptakan situasi dan kondisi,
dapat pula terjadi sebaliknya bahwa kebijakan pemerintah diciptakan oleh
situasi dan kondisi, dapat pula terjadi sebaliknya bahwa kebijakan pemerintah
diciptakan oleh situasi dan kondisi.
Kebijakan pemerintah menurut Riant Nugroho (2003:28)
adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan pemerintah.
Lebih lanjut Riant menambahkan sesuatu berkenaan dengan aturan main yang
terdapat dalam kehidupan bersama baik dalam hubungan antar warga masyarakat
maupun hubungan antar masyarakat dengan pemerintah, hubungan suatu pemilihan
keputusan oleh pemerintah yang meliputi aktivitas perumusan, pelaksanaan dan
penilaian kebijakan pemerintah.
Selanutnya Inu Kencana Syafie (2001 : 147) mengutip pendapat Thomas
R. Dye tentang defenisi kebijakan pemerintah, dimana perhatian utama
kepemimpinan pemerintah adalah public
policy (kebijakan pemerintah), yaitu apapun juga yang dipilih pemerinah,
apakah mengerjakan sesuatu itu, ataukah tidak mengerjakan sama sekali
(mendiamkan) sesuatu itu.
Dengan demikian, kebijakan pemerintah
merupakan serangkaian tindakan yang dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh
pemerintah berdasarkan tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Salah satu kebijakan yang dikenal adalah kebijakan pemerintah.
2.5 Tahapan – Tahapan Kebijakan Pemerintah
Proses pembuatan kebijakan pemerintah merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun
variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu
beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji
kebijakan pemerintah membagi proses-proses
penyusunan kebijakan
pemerintah
kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan pemerintah. Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap ini dengan
urutan yang berbeda. Tahap-tahap
kebijakan pemerintah menurut William Dunn sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 32-34 adalah
sebagai berikut :
a) Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih
dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik.
Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk
dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa
masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali,
sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula
masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
b) Tahap formulasi
kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-masing akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
c) Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak
alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya
salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari
mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.
d) Tahap implementasi
kebijakan
Suatu program kebijakan
hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut
tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan
administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah.
Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial dan
manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan
saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat
dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa
yang lain munkin akan ditentang oleh para pelaksana.
e) Tahap evaluasi kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan
yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana
kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu memecahkan
masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran atau
kriteria-kriteria yamh menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik yang
telah dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan atau
belum. Secara singkat, tahap – tahap kebijakan adalah seperti gambar dibawah
ini;
Tahap-Tahap Kebijakan:
Penyusunan kebijakan
Formulasi kebijakan
Adopsi kebijakan
Implemantasi kebijakan
Evaluasi kebijakan
Sumber: William Dunn
sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 32-34)
2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan
kebijakan
Menurut Suharno (2010: 52) proses pembuatan
kebijakan merupakan pekerjaan yang
rumit dan kompleks dan tidak semudah yang dibayangkan.
Walaupun demikian, para adsministrator sebuah organisasi institusi atau lembaga dituntut memiliki tanggung
jawab dan kemauan, serta kemampuan atau
keahlian, sehingga dapat membuat kebijakan dengan
resiko yang diharapkan (intended risks)
maupun yang tidak diharapkan (unintended risks).
Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Hal penting yang
turut diwaspadai dan selanjutnya dapat diantisipasi adalah dalam pembuatan kebijakan sering terjadi kesalahan
umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembuatan kebijakan adalah:
a) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Tidak jarang pembuat kebijakan harus memenuhi
tuntutan dari luar atau membuat kebijakan
adanya tekanan-tekanan dari luar.
b) Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip
oleh Nigro (2003:56) disebutkan dengan istilah sunk cost, seperti kebiasaan investasi modal yang hingga saat ini
belum professional dan terkadang amat birokratik, cenderung akan diikuti
kebiasaan itu oleh para administrator, meskipun keputusan/kebijakan yang
berkaitan dengan hak tersebut dikritik, karena sebagai suatu yang salah dan perlu
diubah. Kebiasaan lama tersebut sering secara terus-menerus pantas untuk diikuti, terlebih kalau suatu kebijakan
yang telah ada tersebut dipandang
memuaskan.
c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai keputusan/kabijakan yang dibuat oleh para
pembuat keputusan/kebijakan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya.
Sifat pribadi merupakan faktor yang berperan besar dalam penentuan keputusan/kebijakan.
d) Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat
keputusan/kebijakan juga berperan besar.
e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman
latihan dan pengalaman sejarah pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan
kebijakan/keputusan. Misalnya,orang mengkhawatirkan pelimpahan wewenang yang dimilikinya kepada orang
lain karena khawatir disalahgunakan
(Suharno: 2010: 52-53).
2.7 Kerangka Kerja Kebijakan Pemerintah
Menurut Suharno (2010:
31) kerangka kebijakan
pemerintah
akan ditentukan oleh beberapa
variabel dibawah ini, yaitu:
a) Tujuan yang akan dicapai, hal ini mencakup kompleksitas
tujuan yang akan dicapai. Apabila tujuan
kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit mencapai kinerja kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan
semakin sederhana, maka untuk mencapainya juga semakin
mudah.
b) Prefensi nilai seperti apa yang perlu
dipertimbangkan. Suatu kebijakan yang mengandung berbagai variasi nilai
akan jauh lebih sulit untuk dicapai
dibanding dengan suatu kebijakan yang hanya mengejar
satu nilai.
c) Sumber daya yang mendukung kebijakan. Kinerja
suatu kebijakan akan ditentukan oleh
sumber daya finansial, material, dan infrastruktur
lainnya.
d) Kemampuan aktor yang
terlibat dalam pembuatan kebijakan.
Kualitas dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kualitas aktor kebijakan yang
terlibat dalam proses penetapan kebijakan. Kualitas tersebut ditentukan oleh
tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya,
pengalaman kerja dan integritas moralnya.
e) Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial,
ekonomi, politik, dan sebagainya. Kinerja
dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks
sosial, ekonomi, maupun politik tempat kebijakan tersebut diimplementasikan.
f) Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Strategi yang digunakan untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan akan mempengaruhi
kinerja suatu kebijakan. Stretegi yang digunakan dapat
bersifat top/down approach atau bottom
approach, otoriter atau demokratis
(Suharno: 2010: 31).
2.8 Ciri-Ciri Kebijakan Publik
Menurut Suharno (2010: 22), ciri-ciri
khusus yang melekat pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa
kebijakan itu dirumuskan. Ciri-ciri kebijakan publik antara lain:
a)
Kebijakan publik lebih merupakan
tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang
serba acak dan kebetulan. Kebijakan-kebijakan publik dalam system politik
modern merupakan suatu tindakan yang
direncanakan.
b)
Kebijakan pada hakekatnya terdiri atas
tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan
tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan
keputusan yang berdiri sendiri. Kebijakan tidak cukup mencakup
keputusan untuk membuat undang-undang dalam bidang tertentu, melainkan diikuti pula dengan
keputusan-keputusan yang bersangkut
paut dengan implementasi dan pemaksaan pemberlakuan.
c)
Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang
senyatanya dilakukan pemerintah dalam
bidang tertentu.
d)
Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, munkin
pula negatif, kemungkinan meliputi
keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana justru campur tangan
pemerintah diperlukan.
2.9 Jenis Kebijakan Pemerintah
Banyak pakar yang mengajukan jenis kebijakan publik
berdasarkan sudut pandang masing-masing. James Anderson sebagaimana dikutip Suharno
(2010: 24) menyampaikan kategori kebijakan publik sebagai berikut:
a. Kebijakan substantif
versus kebijakan prosedural
Kebijakan substantif yaitu kebijakan
yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan procedural
adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan.
b. Kebijakan distributif
versus kebijakan regulatori versus kebijakan redistributif
Kebijakan distributif menyangkut
distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau individu. Kebijakan
regulatori merupakan kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap
perilaku individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan, kebijakan redistributif
merupakan kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau
hak-hak diantara berbagai kelompok dalam masyarakat.
c. Kebijakan materal versus
kebijakan simbolik
Kebijakan materal adalah kebijakan yang
memberikan keuntungan sumber daya komplet pada kelompok sasaran. Sedangkan, kebijakan
simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok
sasaran.
d. Kebijakan yang barhubungan dengan barang umum
(public goods) dan barang privat (privat goods)
Kebijakan
public goods adalah kebijakan yang
mengatur pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan, kebijakan privat goods adalah kebijakan yang
mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.
Sholichin Abdul Wahab sebagaimana
dikutip Suharno (2010: 25) mengisyaratkan bahwa pemahaman yang lebih baik
terhadap hakikat kebijakan publik sebagai tindakan yang mengarah pada tujuan,
ketika kita dapat memerinci kebijakan tersebut kedalam beberapa kategori,
yaitu:
a. Tuntutan kebijakan (policy demands)
Yaitu tuntutan atau desakan yang
diajukan pada pejabat-pejabat pemerintah yang dilakukan oleh actor-aktor lain,
baik swasta maupun kalangan pemerintah sendiri dalam sistem politik untuk melakukan
tindakan tertentu atau sebaliknya untuk tidak melakukan tindakan pada suatu
masalah tertentu. Tuntutan ini dapat bervariasi, mulai dari desakan umum, agar
pemerintah berbuat sesuatu hingga usulan untuk mengambil tindakan konkret tertentu
terhadap suatu masalah yang terjadi di dalam masyarakat.
b. Keputusan kebijakan (policy decisions)
Adalah keputusan yang dibuat oleh para
pejabat pemerintah yang dimaksudkan untuk memberikan arah terhadap pelaksanaan kebijakan
publik. Dalam hal ini, termasuk didalamnya keputusankeputusan untuk menciptakan
statuta (ketentuan-ketentuan dasar), ketetapan-ketetapan, ataupun membuat
penafsiran terhadap undang-undang.
c. Pernyataan kebijakan (policy statements)
Ialah pernyataan resmi atau penjelasan
mengenai kebijakan public tertentu. Misalnya; ketetapan MPR, Keputusan Presiden
atau Dekrit Presiden, keputusan peradialn, pernyataan ataupun pidato pejabat
pemerintah yang menunjukkan hasrat, tujuan pemerintah, dan apa yang
dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut.
d. Keluaran kebijakan (policy outputs)
Merupakan wujud dari kebijakan publik
yang paling dapat dilihat dan dirasakan, karena menyangkut hal-hal yang
senyatanya dilakukan guna merealisasikan apa yang telah digariskan dalam keputusan
dan pernyataan kebijakan. Secara singkat keluaran kebijakan ini menyangkut apa
yang ingin dikerjakan oleh pemerintah.
e. Hasil akhir kebijakan (policy outcomes)
Adalah akibat-akibat atau dampak yang
benar-benar dirasakan oleh masyarakat, baik yang diharapkan atau yang tidak
diharapkan sebagai konsekuensi dari adanya tindakan atau tidak adanya tindakan
pemerintah dalam bidang-bidang atau masalah-masalah tertentu yang ada dalam
masyarakat.
William N. Dunn (2000: 21) membedakan
tipe-tipe kebijakan menjadi lima bagian, yaitu:
a. Masalah kebijakan (policy
public)
Adalah nilai, kebutuhan dan kesempatan
yang belum terpuaskan, tetapi dapat diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan
public. Pengetahuan apa yang hendak dipecahkan membutuhkan informasi mengenai
kondisi-kondisi yang mendahului adanya problem maupun informasi mengenai nilai
yang pencapaiannya menuntut pemecahan masalah.
b. Alternative kebijakan
(policy alternatives)
Yaitu arah tindakan yang secara potensial
tersedia yang dapat member sumbangan kepada pencapaian nilai dan pemecahan masalah
kebijakan. Informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah pada dasarnya
juga mengandung identifikasi terhadap kemungkinan pemecahannya.
c. Tindakan kebijakan (policy
actions)
Adalah suatu gerakan atau serangkaian
gerakan sesuai dengan alternatif kebijakan yang dipilih, yang dilakukan untuk
mencapai tujuan bernilai.
d. Hasil kebijakan (policy
outcomes)
Adalah akibat-akibat yang terjadi dari
serangkaian tindakan kebijakan yang telah dilaksanakan. Hasil dari setiap
tindakan tidak sepenuhnya stabil atau diketahui sebelum tindakan dilakukan,
juga tidak semua dari hasil tersebut terjadi seperti yang diharapkan atau dapat
diduga sebelumnya.
e. Hasil guna kebijakan
Adalah tingkat seberapa
jauh hasil kebijakan memberiakn sumbangan pada pencapaian nilai. Pada
kenyataanya jarang ada problem yang dapat dipecahkan secara tuntas, umumnya pemecahan
terhadap suatu problem dapat menumbuhkan problem sehingga perlu pemecahan
kembali atau perumusan kembali. Jika dilihat secara tradisional para ilmuwan
politik umumnya membagi:
1) kebijakan substantif (misalnya kebijakan
perburuhan, kesejahteraan sosial, hak-hak sipil, masalah luar negeri);
2) kelembagaan (misalnya: kebijakan legislatif,
kebijakan eksekutif, kebijakan yudikatif, kebijakan departemen);
3) kebijakan menurut kurun waktu tertentu (misalnya
kebijakan masa reformasi, kebijakan masa orde baru).
2.10 Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang mudah
menular dan mematikan. Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia,
dengan akibat turun/hilangnya daya tahan tubuh, sehingga mudah terjangkit dan
meninggal karena penyakit infeksi, kanker dan lain-lain (Depkes, RI, 1999).
Dilihat dari jumlah kasus, masalah
penularan HIV/AIDS di Indonesia bisa dianggap masih sedikit. Namun yang harus
di waspadai adalah cepatnya peningkatan jumlah orang yang terinfeksi, luasnya
penyebarannya, semua kelompok sosial ekonomi dan makin cepatnya pertambahan
jumlah wanita yang terinfeksi dibandingkan dengan pria. Hal ini merupakan
ancaman terhadap pembangunan dan kehidupan bangsa Indonesia. Angka kematian
kasar (terutama dari kelompok usia produktif) akan meningkat, harapan hidup
akan menurun (Dirjen P2M&PL, 2004)
AIDS adalah penyakit yang fatal,
sementara vaksin atau obat untuk pengobatannya sampai saat ini belum ditemukan
walaupun melalui berbagai penelitian dan penemuan para ahli sudah banyak yang
mencoba membuat obat atau vaksin AIDS, namun belum ada seperti yang diharapkan.
Sehingga tidak mengherankan bila sampai saat ini sudah banyak penderita AIDS
yang meninggal.
Gejala-gejala berikut ini belum bisa
memastikan bahwa seseorang telah terinfeksi HIV karena gejala-gejala tersebut
banyak dijumpai pada penyakit lain. Untuk memastikan gejala-gejala tersebut
harus dilakukan tes darah Elissa 1 dan
Elissa 2 serta jika tetap posisif harus dikonfirmasi
dengan tes Western Blot.
Menurut Dirjen P2M&PL (2004) Gejala
dan tanda seseorang terinfeksi AIDS antara lain adalah rasa lelah yang
berkepanjangan, sesak nafas dan batuk yang berkepanjangan, pembesaran kelenjar
(sekitar leher dan lipatan paha), tanpa sebab sering deman bila lebih dari 38oC
disertai keringat tanpa sebab yang jelas malam hari selanjutnya berat badan
menurun secara menyolok, diare yang berkepanjangan dan bercak-cak merah
kebiruan yang timbul pada kulit.
2.10.1 Cara
Penularan AIDS
Menurut Dep Kes RI (2004), sejak ditemukannya kasus
AIDS pertama kali di Indonesia pada tahun 1987, perkembangan kasus HIV/AIDS
dilaporkan di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Seluruh
provinsi yang ada di Indonesia sebagian penduduknya telah terjangkit HIV/AIDS.
Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia secara umum masih
rendah tetapi Indonesia telah digolongkan sebagai negara dengan tingkat epdemi
yang terkonsentrasi (concentrated level epidemic) yaitu adanya
prevalensi lebih 5% pada sub pupulasi tertentu (misalnya pada penjaja seks atau
penyalah guna napza).
Berdasarkan analisis situasi di Indonesia terdapat
beberapa kondisi potensial yang dapat memicu penyebaran HIV/AIDS, yaitu :
1.
Distribusi
penyakit HIV/AIDS mengena pada Laki-laki dan Perempuan.
Dari kasus AIDS yang dilaporkan, 82% kasus adalah
Laki-laki dan 18% kasus adalah Perempuan. Meskipun jumlah penderita AIDS pada
perempuan lebih sedikit daripada laki-laki dampak pada perempuan akan selalu
lebih besar, baik dalam masalah kesehatan maupun dibidang ekonomi. Perempuan
lebih rentan tertular dan lebih menderita akibat infeksi ini.
Beberapa studi menunjukkan bahwa penularan HIV pada
laki-laki ke perempuan melalui hubungan seks dua kali lipat dibandingkan dari
perempuan kepada laki-laki. Penularan pada perempuan dapat berlanjut dengan penularan
pada bayi jika terjadi kehamilan. Resiko penularan HIV dari ibu pengidap HIV ke
bayinya berkisar 15 – 40%. Bayi yang lahir dari seorang ibu pengidap HIV
mungkin akan terinfeksi HIV sebelum, selama , atau sesudah proses kelahirannya.
Penularan juga dapat terjadi melalui Air Susu Ibu (ASI)
2.
Penular AIDS
tergolong usia produktif
Menurut umur, proporsi kasus AIDS terbanyak
dilaporkan pada kelompok umur 20 – 29 tahun (54,76%) disusul kelompok umur 30 -
39 tahun (27,17%) dan kelompok umur 40 – 49 tahun (7,9%) . Ketiga kelompok
tersebut termasuk dalam kelompok usia produktif. Diserangnya kelompok usia
produktif ini merupakan satu hal yang perlu diperhatikan mengingat kelompok
penduduk ini merupakan aset pembangunan bangsa.
3.
Kasus AIDS
pada bayi dan anak
Dijumpainya kasus HIV/AIDS pada bayi dan anak
kurang dari 15 tahun disebabkan oleh karena tertular dari ibunya saat kehamilan,
persalinan maupun ASI, transfusi darah/komponen darah atau penularan seksual
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Anak-anak juga mempunyai resiko besar terinfeksi
HIV karena pengetahuan mereka tentang cara penularan dan melindungi diri dari
penularan HIV sangat terbatas. Disamping itu mereka juba bisa menjadi yatim
piatu karena orangtuanya meninggal akibat AIDS dan membutuhkan perhatian khusus
dari keluarga dan masyarakat.termasuk pemerintah pusat maupun daerah.
4.
Penularan
HIV/AIDS melalui jarum suntik dan kontak seks.
Dari kasus AIDS yang dilaporkan ternyata penularan terbanyak
terjadi melalui penggunaan jarum suntik bersama/tercemar virus HIV pada
penyalah guna NAPZA suntik (IDU) yaitu sebesar 50,3% dan penularan melalui
hubungan heteroseksual 40,3%. Cara penularan lain yang dilaporkan adalah melalui
hubungan homoseksual 4,2%, tranfusi darah/komponen darah termasuk pada
hemofilia 0,1%, melalui perinatal 1,5% dan 3,6% tidak diketahui (Dep Kes RI-2004).
Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh
menyebabkan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam
penyakit. Serangan penyakit yang biasanya yang tidak berbahayapun lama kelamaan
akan menyebabkan pasien sakit parah, bahkan meninggal. Tidak ada
pentunjuk/bukti bahwa HIV dapat menular melalui kontak sosial, alat makan,
toilet, kolam renang, udara ruangan, maupun oleh nyamuk/serangga.
2.10.2 Gejala-Gejala
Terjangkit AIDS
Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (2006:8) Seseorang yang
terinfeksi HIV, 2-6 minggu kemudian (rata-rata 2 minggu) terjadilah sindrom
retroviral akut. Lebih dari separuh orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan
gejala infeksi primer ini yang dapat berupa gejala umum (demam, nyeri otot,
nyeri sendi, rasa lemah), kelainan mukokutan (ruam kulit, ulkus di mulut),
pembengkakan kelenjar limfe, gejala neurologi (nyeri kepala, nyeri belakang
kepala, fotofobia, depresi), maupun gangguan saluran cerna (anoreksia, nausea,
diare, jamur di mulut).
Gejala ini dapat berlangsung 2-6 minggu gejala menghilang
disertai serokonversi. Selanjutnya merupakan fase asimtomatik, tidak ada
gejala, selama rata-rata 8 tahun (5-10 tahun, dinegara berkembang lebih cepat).
Sebagian besar pengidap HIV saat ini berada pada fase ini. Penderita tampak
sehat, dapat melakukan akfivitas normal tetapi dapat menularkan kepada orang
lain. Setelah masa tanpa gejala, memasuki fase simtomatik, akan timbul
gejala-gejala pendahuluan seperti demam, pembesaran kelenjar limfa, yang
kemudian diikuti oleh infeksi oportunistik.
Dengan adanya infeksi oportunistik maka perjalanan
penyakit telah memasuki stadium AIDS. Fase simptomatik berlangsung rata-rata
1,3 tahun yang berakhir dengan kematian. Setelah terjadi infeksi HIV ada masa
dimana pemeriksaan serologis antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif,
sementara virus sebenarnya telah ada dalam jumlah banyak. Pada masa ini, yang
disebut window period (periode jendela), orang yang telah terinfeksi ini
sudah dapat menularkan kepada orang lain walaupun pemeriksaan antibodi HIV
hasilnya negatif.
Periode ini berlangsung 3-12 minggu. Menurut Dep
Kes RI (2004) Terdapat beberapa klasifikasi klinis HIV/AIDS antara lain menurut
CDC dan WHO. Klasifikasi dari CDC berdasarkan gejala klinis dan jumlah CD4
sebagai berikut :
a.
Katagori Klinis A, meliputi infeksi HIV tanpa
gejala (asimptomatik), Persistent Generalized Lymphdinopathy, dan infeksi HIV
akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut.
b.
Katagori Klinis B, terdiri atas kondisi dengan
gejala (simptomatik) pada remaja atau dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak
termasuk dalam katagori C dan memenuhi paling sedikit satu dari beberapa kriteria
berikut :
- Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV
atau adanya kerusakan kekebalan.
- Kondisi yang dianggap oleh dokter telah
memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat
komplikasi infeksi HIV, misalnya Kandidiasis Osofaringeal, Orall Hairy
Leukoplakia, Herpes Zoster,dan lain-lain.
c.
Katagori Klinis C meliputi gejala yang ditemukan
pada pasien AIDS misalnya Sarkoma Kaposi, Pneumonia Pneumocystis carinii, Kandidiasis
Esofagus, dan lain-lain.
2.10.3 Implikasi HIV/AIDS
Meluasnya HIV/AIDS tidak hanya berpengaruh terhadap
bidang kesehatan tetapi juga mempengaruhi sosio ekonomi. Menurut Dep Kes RI
(2004) Bagi sektor kesehatan HIV/AIDS menambah beban sistem kesehatan yang
selama ini telah berat. HIV/AIDS membuat penderitanya lebih rentan terhadap infeksi
oportunistik. Perawatan terhadap penderita HIV/AIDS membutuhkan perhatian dan
pelayanan khusus. Hal ini akan meningkatkan kebutuhan terhadap pelayanan
kesehatan maupun sistem kesehatan publik.
Menurut Gede Susanti (2007:101) Penderita HIV/AIDS
sebagian besar berada pada usia produktif (15 – 49 tahun). Dalam umur ini
termasuk orang tua (ibu dan bapak) yang bertanggungjawab dalam mencari nafkah
bagi keluarganya. Awal berupa kehilangan pekerjaan dan biaya perawatan dan
pengobatan yang cukup besar. Selanjutnya efeknya akan meluas karena keluarga kehilangan
pencari nafkah dan akan menggunakan dana mereka yang mungkin terbatas untuk
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
Maka akan terjadi kemiskinan yang lebih berat baik
bagi keluarga dan dapat menambah beban negara. Menurut Sofyan (2006:12) kematian
karena AIDS menyebabkan umur harapan hidup menjadi lebih pendek. Maka secara
umum, HIV/AIDS dapat menyebabkan penurunan sumber daya manusia secara
sifnifikan, karena menyebabkan kematian penduduk usia muda dan memperlambat pertumbuhan
ekonomi. Bagi penderita dan keluarganya, selain dampak terhadap kesehatan dan
ekonomi, ada beban berat lain yaitu adanya diskriminasi dan stigmatisasi bagi
yang bersangkutan maupun keluarganya. Diskriminasi dan stigmatisasi dapat
menyebabkan kesulitan dalam pekerjaan, pengobatan, dan interaksi sosial
keluarga di masyarakat.
2.10.4 Upaya
Penanggulangan AIDS
Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN)
(2007:16) penanggulangan merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan,
meliputi kegiatan pencegahan, penanganan , dan rehabilitasi. Infeksi HIV/AIDS
merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang dan hingga saat ini
belum ditemukan obat yang efektif, maka pencegahan dan penularan menjadi sangat
penting terutama melalui pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan yang
benar mengenai patofisiologi HIV dan cara penularannya.
Seperti diketahui, penyebaran virus HIV melalui
hubungan seks, jarum suntik yang tercemar, transfusi darah, penularan dari ibu
ke anak maupun donor darah atau donor organ tubuh, maka upaya pencegahannya menurut
Menko Kesra RI (2005) adalah sebagai berikut :
a.
Melakukan tindakan seks yang aman dengan pendekatan
”ABC” (Abstinent, Be faithful, Condom), yaitu tidak melakukan aktivitas seksual
(abstinent) merupakan metode paling aman untuk mencegah penularan HIV
melalui hubungan seksual, tidak berganti-ganti pasangan (be faithful),
dan penggunaan kondom (use condom).
b.
Mencegah perluasan epidemi HIV dari kelompok IDU ke
masyarakat luas (general population), terutama pada pasangan seksual para IDU dan
pada bayi-bayi yang dikandungnya. Untuk mencegah dampak buruk narkotika (harm
reduction) maka Strategi yang ditempuh adalah membantu penyalahguna NAPZA
untuk berhenti menggunakan NAPZA (abstinent), mengusahakan agar selalu
memakai jarum suntik yang steril dan tidak independent.
c.
Pemahanan dan Penerapan kewaspadaan universal (universal
precaution) di sarana pelayanan kesehatan untuk mengurangi risiko infeksi
yang ditularkan melalui darah. Kewaspadaan universal, meliputi : a) cuci tangan
dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan/perawatan,
b) penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, c) pengelolaan
dan pembuangan alat-alat tajam dengan hati-hati, d) pengelolaan limbah yang
tercemar darah/cairan tubuh dengan aman, e) pengelolaan alat kesehatan bekas
pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi yang benar.
d.
Melakukan skrining adanya antibodi HIV untuk
mencegah penyebaran melalui darah, produk darah, dan donor darah.
e.
Mencegah penyebaran HIV secara vertikal dari ibu
yang terinfeksi HIV ke anak yang dapat terjadi selama kehamilan, saat
persalinan, dan saat menyusui. WHO mencanangkan empat strategi pencegahan penularan
HIV terhadap bayi, yaitu : a) mencegah seluruh wanita jangan sampai terinfeksi
HIV, b) bila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan yang tidak
diinginkan, c) bila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya,
d) bila ibu dan anak sudah terinfeksi perlu diberikan dukungan dan perawatan
bagi ODHA dan keluarganya.
f.
Layanan Voluntary Counseling & Testing (VCT)
, yakni merupakan program pencegahan sekaligus jembatan untuk mengakses layanan
manajemen kasus (MK) dan CST (Care, Support, Trade) atau perawatan,
dukungan, dan pengobatan bagi ODHA. Layanan VCT meliputi pre test konseling,
testing HIV, dan post-test konseling. Kegiatan tes dan hasil test dijalankan
atas dasar prinsip kerahasiaan.
2.11
Kerangka Konseptual
Menurut Kartono (2008:102) kerangka konseptual penelitian
adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang
lainya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka konsep ini gunanya untuk
menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar tentang suatu topik yang
akan dibahas.
Ketika virus HIV/AIDS mewabah di Indonesia,
Pemerintah langsung mengambil tindakan pencegahan dan penanggulangan masalah
HIV/AIDS dengan mengeluarkan Peraturan
Presiden RI
Nomor 75 Tahun 2004 mengamanatkan pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional, Propinsi, dan Kabupaten beserta Sekretariatnya dalam rangka
meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang lebih intensif.
Dengan terbentuknya Peraturan Presiden tersebut
maka Menteri Kesehatan ikut andil dalam penanggulangan masalah penyakit ini
dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS,
sehingga terbentuklah Komisi Penanggulangan AIDS yang di pimpin langsung oleh
Kepala Daerah dan dibawah kewenangan Dinas Kesehatan. Adapun yang ingin program
yang diprakarsai oleh KPA adalah menyusun rencana kebijakan, mengadakan penyuluhan
HIV/AIDS, sosialisasi lewat media massa serta pelaporan atas kegiatan yang
telah dilakukan.
Adapun
hal yang ingin dicapai pihak KPA adalah terjadinya sistem Pencegahan,
pengendalian dan penanggulangan HIV AIDS. Untuk lebih ringkasnya dapat
dijelaskan pada bagan
dari kerangka konseptual mengenai kebijakan KPA dalam penanggulangan HIV/AIDS
pada kalangan remaja.
|
|
||||||||||||
|
||||||||||||
|
Gambar 2.1 Kerangka Kons
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini
dilakukan pada Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Lhokseumawe yang beralamat di Jalan Peutua Bidin No. 65
Teumpok Teungoh. Kota Lhokseumawe dipilih
sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan karena Kasus
HIV/AIDS juga terjadi di Kota Lhokseumawe. Di Kota Lhokseumawe,
penderita HIV/AIDS telah ditemukan sejak 2007. Jumlah penderita HIV/AIDS di
Kota Lhokseumawe saat ini telah mencapai 32 orang dimana 24 orang telah
meninggal dunia.
3.2 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe
deskriptif yaitu mendeskripsikan dan menganalisis masalah yang muncul dimasa
sekarang guna memperoleh gambaran menyeluruh tentang penelitian yang penulis
lakukan. Hasil akhir dari penelitian ini digambarkan dengan kata-kata atau
kalimat yang menunjukkan hasil akhir penelitian.
Pendekatan
kualitatif ini digambarkan dengan kata-kata atau dengan kalimat yang
menunjukkan hasil akhir dari penelitian. Dalam penggunaan data kualitatif terutama dalam penelitian yang digunakan
untuk informasi yang bersifat menerangkan dalam bentuk uraian, maka data
tersebut tidak dapat diwujudkan dengan angka-angka melainkan dengan penjelasan
yang menggambarkan keadaan, dan proses peristiwa yang terjadi (Moleong, 2005 :
13).
3.3 Sumber
Data
Dalam melakukan penelitian ini,
penulis mengambil dua sumber data yaitu sebagai berikut :
1. Data primer yaitu data yang
diperoleh dari hasil wawancara dan observasi penelitian di lokasi penelitian.
2. Data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari buku-buku, jurnal, majalah dan koran yang berhubungan dengan tentang kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bahaya HIV di kalangan
remaja.
3.4 Teknik
Pengumpulan Data
Informasi
yang akurat merupakan sesuatu hal yang tidak boleh dibiarkan begitu saja, oleh
sebab itu data harus dikumpulkan dengan menggunakan teknik-teknik tertentu. Adapun sumber data dalam pengumpulan data yang digunakan oleh si
peneliti adalah sebagai berikut:
3.4.1
Observasi Non Partisipatif
Menurut
Moleong (2005: 126) pengamatan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu pengamatan
partisipatif dan pengamatan non partisipatif. Pengamatan partisipatif merupakan
teknik pengumpulan informasi (data) yang sangat penting dalam penelitian
kualitatif untuk bidang psikologi, karena agar dapat menghayati perasaan,
sikap, pola pikir yang mendasari perilaku subjek yang diteliti secara mendalam
tidak cukup memadai apabila hanya dilakukan dengan wawancara sedangkan
pengamatan non partisipatif adalah dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti
tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang
diamatinya, dan dia juga tidak melakukan sesuatu bentuk interaksi sosial dengan
pelaku atau para pelaku yang diamati.
Keterlibatannya dengan para pelaku terwujud dalam bentuk
keberadaannya dalam arena kegiatan yang diwujudkan oleh tindakan-tindakan
pelakunya sehingga pengamat tidak terlibat jauh dalam hal kegiatan yang
dilakukan di lokasi objek penelitian tetapi hanya mengamati melalui
hasil-hasil, catatan-catatan langsung yang telah didapatkan dari objek
penelitian.
Observasi yang dilakukan peneliti adalah observasi non partisipatif yaitu melakukan pengamatan dan mencatat
langsung di tempat lokasi penelitian tanpa melibatkan diri secara langsung
dalam berbagai aktifitas subjek penelitian. Objek yang diobservasi adalah upaya pemerintah dalam
penanggulangan
AIDS oleh Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Kota
Lhokseumawe.
3.4.2
Wawancara
Menurut Kerlinger (2000: 770) wawancara adalah situasi peran
antar-pribadi berhadapan muka (face to
face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah
penelitian, kepada seseorang yang diwawancarai, atau informan.
Wawancara yang digunakan oleh peneliti
adalah wawancara kualitatif yang dilakukan secara mendalam untuk mendapatkan
data atau bahan yang tidak tertulis ataupun tertulis dari pihak terkait dan
berdasarkan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.
Wawancara yang digunakan oleh peneliti
adalah wawancara berstruktur yaitu wawancara yang didasarkan oleh
pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh peneliti.
Penelitian ini dilakukan secara purposive yaitu penelitian dimana
informannya telah ditetapkan jumlahnya. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan
data atau bahan yang tidak tertulis ataupun tertulis dari pihak terkait dan
berdasarkan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu,
wawancara ini dilakukan dengan informan sebanyak 9 orang yang terdiri dari Kepala
KPA Kota Lhokseumawe (1 orang), bagian Pelaksana Kegiatan pada KPA Kota
Lhokseumawe (3 orang) , bagian program penyuluhan (2 orang) dan remaja Kota
Lhokseumawe (3 orang).
3.4.3 Dokumentasi
Istilah dokumentasi dari kata document
(Belanda), document (Inggris), documentum (Latin). Sebagai kata
kerja document berarti menyediakan dokumen, membuktikan dengan
menunjukkan adanya dokumen; sebagai kata
benda berarti wahana (wahana = kebenaran, alat pengangkut,
angkutan, alat untuk mencapai tujuan) informasi, data yang terekam atau dimuat
dalam wahana tersebut beserta maknanya yang digunakan untuk belajar, kesaksian,
penelitian, rekreasi, dan sebaginya.
Menurut Poerwadarminta (2007:507)
dokumentasi adalah Pemberian atau pengumpulan bukti-bukti dan keterangan
(seperti kutipan-kutipan dari surat kabar dan gambar-gambar). Pada penelitian
ini teknik yang dilakukan untuk mendapatkan data
sekunder sebagai pelengkap data primer dengan mengumpulkan data dari
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan judul seperti buku, majalah, Koran, jurnal dan internet.
3.4 Teknik Analisis Data
Analisa data
merupakan bagian yang amat penting dalam suatu penelitian, karena dengan
analisa data yang diperoleh dapat diberikan arti dan makna yang diinginkan
dalam memecahkan masalah yang timbul dari masalah yang dilakukan. Menurut
Kartono (2008:
128) analisis
data dilakukan sepanjang proses penelitian dengan mengikuti tahap-tahap sebagai
berikut:
1.
Reduksi Data
Menurut Moleong (2005: 135) reduksi data adalah proses analisis yang dilakukan
untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan hasil penelitian dengan
memfokuskan pada hal-hal yang dianggap penting oleh peneliti. Dalam reduksi
data membuat abstrak atau merangkum data dalam suatu laporan yang lebih
sistematis dilakukan pada hal-hal yang penting.
Data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih
tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencari kembali
data yang diperoleh bila diperlukan. Reduksi data bertujuan untuk mempermudah
pemahaman terhadap data yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian lapangan
dengan cara merangkum, mengklasifikasikan sesuai dengan masalah yang diteliti.
Data yang direduksi pada penelitian ini adalah kebijakan
KPA dalam Penanggulangan HIV/AIDS di kalangan remaja.
2.
Penyajian Data
Menurut Kartono (2008: 197) penyajian data/verifikasi data yaitu menemukan kesesuaian
antara data dan kenyataan dilapangan dalam proses penelitian. Setelah mereduksi
data, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan atau memverifikasi data
penyajian data diikuti oleh proses pengumpulan data-data yang saling
berhubungan satu sama lain melalui wawancara, pendokumentasian dan pengamatan
yang lebih mendalam.
Hal ini dimaksudkan
untuk memperkuat hasil reduksi data untuk diolah lebih lanjut sehingga pada
akhirnya akan menghasilkan suatu kesimpulan. Dalam penelitian kualitatif,
penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk tulisan. Setelah data diperoleh
berupa tulisan seperti catatan yang sudah direduksi, kemudian disajikan dalam
bentuk deskripsi. Kemudian data-data tersebut dikelompokkan sehingga terbentuk
kelompok-kelompok data yang selanjutnya akan disimpulkan.
3. Penarikan Kesimpulan
Menurut Poerwandari
(2008:99)
penarikan kesimpulan merupakan peneliti menggabungkan data yang diperoleh dari
hasil wawancara, observasi non-partisipatif, dan dokumen guna untuk
menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum (generalisasi).
Langkah terakhir dalam pengolahan data kualitatif yaitu
penarikan kesimpulan. Setelah peneliti menarik kesimpulan dari hasil
penelitian, peneliti mempelajari dan memahami kembali data-data hasil
penelitian, selain itu peneliti juga meminta pertimbangan kepada berbagai pihak
mengenai data-data yang diperoleh dilapangan sehingga diharapkan kesimpulan
yang diperoleh dapat menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal.
2 Tanggapan untuk "Skripsi Kebijakan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Penanggulangan bahaya HIV/AIDS pada Kalangan Remaja"
kakak, tolong kirimin file lengkapnya donk kakak:)
kirim ke email aku ya kak, di tunggu.
nuraida_hasanah@yahoo.co.id
tabelnya kurang jelas min , boleh minta file lengkapnya
kirim ke email akhisluqman@gmail.com
Posting Komentar