KEMERDEKAAN BERAGAMA DAN KEPERCAAYAN DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mengakui adanya keberagaman memang lebih mudah untuk dilakukan sebatas pengucapan melalui mulut, namun untuk bisa hidup berdampingan dalam suatu pengakuan akan adanya keberagaman lebih sulit untuk dilakukan.
Hal yang seringkali membuat hidup dalam keberagaman itu terasa sulit karena adanya arogansi dan dominansi oleh kalangan mayoritas dalam lingkungan tersebut. Adanya tekanan-tekanan terhadap mereka yang tidak sepaham dengan kaum mayoritas menimbulkan ancaman terhadap eksistensi kelompok-kelompok lain dan pada akhirnya terjadi sebuah monopoli kebenaran di lingkungan tersebut, menganggap yang berada di luar mayoritas adalah sebuah kesalahan dan harus ditiadakan dari lingkungannya.
Mengakui bahwa adanya keberagaman agama di Indonesia itu sendiri memang mudah. Hal ini tampak secara normatif karena agama-agama ini sudah diakui oleh pemerintahan Indonesia sendiri. Namun, mengakui adanya keberagaman agama di Indonesia dalam sebuah ranah sosial dimana masyarakat hidup, akan lebih sulit dariapada sekedar mengakuinya secara normatif.
Hal ini nampak jelas pada gesekan-gesekan yang terjadi antar umat beragama di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai contoh insiden pembakaran gereja, kejadian ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya memimpikan sebuah kerukunan antar umat beragama di Indonesia masih merupakan jalan panjang yang harus ditempuh dengan serius.
Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Selain itu selama tahun 2007 telah terjadi pelanggaran HAM sebanyak 4075 kasus, dari kasus tersebut 20% diantaranya merupakan kasus pelanggaran kebebasan beragama. Hal tersebut semakin mengindikasikan bahwa peraturan yang mengatur kebebasan beragam di Indonesia masih perlu dikaji lagi. Maka tidak berlebihan untuk mengatakan, di Tanah Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit.
1.2 Rumusan Masalah
            1. Apa yang dimaksud Agama dan  Kepercayaan?
            2. Bagaimana perilaku keagamaan dalam  kehidupan bermasyarakat?
            3. Apa fungsi agama?
            4. Apa yang dimaksud kemerdekaan beragama dan kepercayaan?
            5. Bagaimana hubungan antar agama di Indonesia?
            6. Bagaimana cara membangun kerukunan umat beragama?
1.3 Tujuan Pembelajaran
melalui kegiatan, mengamati, menanya, mengumpulkan  informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan peserta didik dapat:
1.                  Mengidentifikasi agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia
2.                  Menganalisis kemerdekaan beragama dan kepercayaan yang ada di Indonesia
3.                  Menyaji hasil identifikasi agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia
4.                  Menyaji hasil analisis kemerdekaan beragama dan kepercayaan yang ada di Indonesia



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1              Agama dan Kepercayaan di Indonesia
Berdasarkan definisi yang dikutip dari Kamus Besar Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan Kepada Tuhan Yang  Maha Kuasa serta tata kaidah berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Agamayang diakui di Indonesia ada 6  yakni Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu.
Pada era Orde Baru, Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia hanya 5 yakni Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Tetapi setelah era reformasi, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 6/2000, pemerintah mencabut larangan atas agama, kepercayaandan adat istiadat Tionghoa. Keppres No.6/2000 yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid ini kemudian diperkuat dengan Surat Keputudan (SK) Menteri Agama Republik Indonesia Nomor MA/12/2006 yang menyatakan bahwa pemerintah mengakui keberadaan agama Kong Hu Cu di Indonesia.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menyatakan tidak ada peraturan perundang-undangan yang menyatakan ada agama resmi atau tidak resmi, dan yang diakui tidak diakui oleh negara.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menjelaskan yang ada hanyalah bahwa disebutkan enam agama sebagaimana agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia dan negara memberikan serta perlindungan, selain jaminan yang disebutkan dalam UUD 1945, juga dalam “Penjelasan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 menyebutkan agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu,” jelasnya dalam diskusi di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Jum’at (17/10/2014). Menurutnya, keberadaan enam agamai ini sebagai agama yang dipeluk penduduk Indonesia dapat dibuktikan dalam sejarah.
Dia menyatakan hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di indonesia. Meskipun demikian, agama lain seain keenam agama tersebut juga dijamin keberadaannya. “ini tidak berarti agama-agama lain misalnya Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Taoisme, dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti diberikan oleh pasal 29 Ayat 02 UUD 1945,” kata menteri agama Lukman Hakim Syaifuddin.
Dia menambahkan agama-agama tersebut dibiarkan adanya,asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan- yang terdapat dalam peraturan tersebut dan peraturan perundangan yang lain.(http://news.bisnis.com/read/20141017/15/265869/ lukman-hakim-syaifuddin-agama-kepercayaan-selain-dari-6-agama-tetap-dijamin-negara).
Dalam pasal-pasal dalam UUD 1945 yang memuat pengaturan mengenai kebebasan beragama, diantaranya adalah sebagai berikut.
1.                   Pasal 29 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut.
(1)  Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2)  Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan keperBayaannya itu.
2.                  Pasal 28E ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut.
(1)                     Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya masing-masing, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2)                     Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperBayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
pasal 28I ayat (1), yang berbunyi:”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan , hak pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudahk, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum , dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku sarut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Adanya jaminan kebebasan bukan berarti sebagai warga negara Indonesia kita memiliki kebebasan yang tidak terbatas, kita tetap harus menghormati kebebasan orang lain, karena kebebasan kita akan menimbulkan kewajiban bagiorang lain begitu pula sebaliknya. Hal tersebut sebagaimana yang diamanatkan oleh UUG 1945 pasal 28 J ayat (1) dan (2). Yang berbunyi sebagai berikut.
(1)          Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2)          Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan pengakuan serta hormat atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
untuk mengkaji kebebasan beragama di Indonesia, hendaknya kita membaca dan menghayati pasal-pasal, tersebut seBara menyeluruh. Kita tidak bisa membaca hanya Pasal 29, 28E, 38I, dan 28J saja. Tetapi kitaharus membaca menghayatinya sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasal sebelumnya.
Pengaturan mengenai kebebasan beragama, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adilsesuai penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adi sesua dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Jika kita kaji instrumen-instrumen internasional, hal serupadiatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal declaration of human rights) yang diadopsi PBB pada tahun 1948, padal 29 Ayat (2), dikatakan sebagai berikut: dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang hanya patuh kepada pembatasan yang diatur melalui undang-undang, semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan clan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (diadopsi PBB Tahun 1966) yang telah diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005,Pasal 18 Ayat (3) berbunyi sebagai berikut: Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama Dan Kepercayaan (Declaration on the Eliminaton of All Froms of Instolerance and of Discriminaton Based on Religion and Belief) tahun 1981, pada pasal1 ayat (3) juga dinyatakan: kemerdekaan seseorang untuk menyatakan agama atau keperBayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka menjamin keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau nilai-nilai moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain.
Selain itu, konvensi tentang hak-hak anak (Convention on the Rights of the Child), yang diadopsi oleh sidang umum PBB pada pasal 14 ayat (3) menyatakan: kebebasan seseorang untuk menyatakan agamanya atau keperBayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka untuk melindungi keselamatan, ketentraman, kesehatan, dan nilai-nilai moral publik, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain.
2.2              Fungsi Agama

a.                  Fungsi edukatif
Agama bertugas mengajar dan membimbing masyarakat. Agama menyampaikan ajaran-ajaran melalui upacara keagamaan, dakwah dan kotbah, meditasi, pendalaman rohani dll.

b.                  Fungsi penyelamat
Agama memberikan anjuran dan perintah untuk selalu berbuat kebaikan agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan.

c.                   Fungsi pengawasan sosial
Agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada. Kaidah yang baik dikukuhkan sebagai norma dan kaidah yang buruk sebagai larangan atay tabu. Fungsi pengawasan diperkuat dengan adanya sanksi bagi manusia yang melanggar kaidah tersebut.

d.                  Memupuk persaudaraan
Setiap agama menganjurkan agar umat manusia saling mencintai dan menghindari permusuhan. Dengan adanya rasa saling memupuk persaudaraan, cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud.

2.3              Fungsi Agama dalam Proses Integrasi Bangsa

a.                  Mengatur perilaku manusia melalui anjuran dan larangan sehingga manusia senantiasa berperilaku benar.
b.                  Mengendalikan kehidupan masyarakat melalui konsep dosa (ganjaran terhadap perilaku salah dalam suatu ajaran agama)
c.                   Memelihara solidaritas sosial baik intern maupun ekstern.
-      Solidaritas intern:
Persatuan diantara sesama umat.
-      Solidaritas ekstersn
Persatuan antar umat beragama yang berbeda. Solidaritas dapat dipupuk melalui penanaman sikap salingmencintai sesama manusia. Sikap saling toleransi dan menghormati.
d.                  Ajaran agama menenteramkan batin manusia. Akibatnya masyarakat dapatberpikir secara jernih dalam menghadapi berbagai persoalan hidup sehingga terhindar dari perilaku anarkis yang dapat mengancam integrasi bangsa.

2.4              Contoh Perilaku Keagamaan

a.                  Perilaku kegamaan positif:
1)                  Ketekunan dalam menjalankan ajaran agama sehingga seseorang selalu berperilaku baik, dan menciptakan kerukunan, persatuan, dan kesatuan, integrasi nasional.
2)                  Sikap fanatik yang bijak dan terkendali terhadap ajaran agama akan meningkatkan solidaritas diri antar pemeluknya. Akibatnya muncul persaudaraan, kesetiakawanan, gotong royong tanpa pandang kelas sosial, dan perbedaan bangsa.
b.                  Perilaku keagamaan negatif
1)                  Fanatisme berlebihan dapat menimbulkan perpecahan dan memicu timbulnya konflik destruktif. Perilaku ini menimbulkan intoleransi, tidak menghargai dan memberi kesempatan orang lain menjalankan ajaran agama.
2)                  Kesombongan religius berlebihan, sikap memandang agamanya yang paling benar serta meremehkan dan merendahkan agama lain. Perilaku ini dapat memicu pemaksaan kehendak atau ajaran agama dengan cara kekerasan dan anarkis.

2.5       Norma-Norma Kebebasan Beragama
1)                  Pertama, Internal freedom (Kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap orang  dipandang memiliki kebebasan berfikir, berkesadaran dan beragama. Norma ini juga mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengubah agama dan kepercayaannya.

2)                  Kedua, External freedom (Kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam mengajaran, praktik, peribadatan dan ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi dan publik. Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain.
3)                  Ketiga, Noncoercion (Tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapa pun.

4)                  Keempat, Nondiscrimination (Tanpa diskriminasi) berdasarkan norma ini, negara berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di wilayah kekuasaan dan yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik dan pandangan lainya, asal-usul bangsa, kekayaan dan status kelahiran.

5)                  Kelima, Rights of parent and guardian (Hak orang tua dan wali). Menurut norma ini, negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang absah secara hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas beragama atau berkepercayaaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.

6)                  Keenam, Corporate freedom and legal status (Kebebasan berkumpul dan memperoleh status hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi.

7)                  Ketujuh, Limits of permissible restrictions on external freedom (Pembatasan yang diperkenankan terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau mengekspresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan, moral dan hak-hak dasar lainnya.
8)                  Kedelapan, Nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau kepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.





2.6  Pengertian Kerukunan Antar Umat Beragama
                        Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya] secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.
                        Sedangkan kerukunan umat bragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hokum dan telah terdaftar di pemerintah daerah.
            Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerintahan lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.
Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif gengan tugas melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan.
            Kerukunan antar umat beragama dapat diwujdkan dengan;
1.Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama
2.Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan
4.Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun peraturan Negara          
     2.7 Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia
                        Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.
                        Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan.
Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.
2.8 Kendala-Kendala Kerukunan Antar Umat Beragama
1) Rendahnya Sikap Toleransi
                        Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif.
                        Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain.
             Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak.
                        Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.

2) Kepentingan Politik
                        Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya.
                        Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah-darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya.
            Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3) SikapFanatisme
                        Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
                        Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
2.9 Solusi Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama
1) Dialog Antar Pemeluk Agama
                        Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political history).
Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai.
Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis― pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut.
Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
2) Bersikap Optimis
                        Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.
Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis.
Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya.
 Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya.
Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
2.10 Cara Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama
                        Menjunjung tinggi toleransi antar umat Beragama di Indonesia. Baik yang merupakan pemeluk Agama yang sama, maupun dengan yang berbeda Agama. Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misalnya seperti, pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi sehari – harinya, atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya mereka melakukan ibadah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia, karena jika rasa toleransi antar umat beragama di Indonesia sudah tinggi, maka konflik – konflik yang mengatasnamakan Agama di Indonesia dengan sendirinya akan berkurang ataupun hilang sama sekali.
                        Selalu siap membantu sesama dalam keadaan apapun dan tanpa melihat status orang tersebut. Jangan melakukan perlakuan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam. Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain, jangan lantas malas dan enggan untuk membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama. Justru dengan membantu mereka yang kesusahan, kita akan mempererat tali persaudaraan sebangsa dan setanah air kita, sehingga secara tidak langsung akan memperkokoh persatuan Indonesia.
                        Hormatilah selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus dan sopan kepada siapapun. Biasakan pula untuk menomor satukan sopan santun dalam beraktivitas sehari harinya, terlebih lagi menghormati orang lain tanpa memandang perbedaan yang ada. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia.
                        Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak – pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak. Hal ini diperlukan karena di Indonesia ini masyarakatnya sangat beraneka ragam.



KEMERDEKAAN BERAGAMA DAN

KEPERCAAYAN DI INDONESIA

KEMERDEKAAN BERAGAMA DAN  KEPERCAAYAN DI INDONESIA




Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "KEMERDEKAAN BERAGAMA DAN KEPERCAAYAN DI INDONESIA"